Search for Knowledge
“A mistake is a signal that it is time to learn something new, something you didn’t know before.”

Krisis Utang Internasional

Indikator dan Pengertian Utang Luar negeri

Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara yang sedang berkembang, merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya ekonomi. Banyak negara dunia ketiga yang justru memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Masalahnya adalah kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih bersifat potensial, artinya belum diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumberdaya manusianya yang besar, belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan keterampilan, untuk mampu menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan berproduksi tinggi.

Pada kondisi yang seperti itu, maka sangatlah dibutuhkan adanya sumberdaya modal yang dapat digumakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan. Dengan adanya sumberdaya modal, maka semua petensi kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan dan dikembangkan. Tetapi, pada banyaknya negara yang sedang berkembang, ketersediaan sumberdaya modal seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan karena rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri, beberapa penyebabnya antara lain (1) pendapatan per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan, juga rendah. (2) Lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan dana masyarakat, yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif. (3) Kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesuliatan mendapatkan tambahan dana murah dalam berekspansi. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat terbatas seperti itu, jelas tidak dapat diandalkan untuk mampu mendukung tingkat pertumbuhan output nasional yang tinggi seperti yang diharapkan.

Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMAP); portofolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (eksper/impor)/ modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta.

Banyak pemerintah di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan modal asing dalam menunjang pembangunan nasionalnya, tetapi tidak semua berhasil mendapatkannya, kalau pun berhasil jumlah yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain (ML. Jhingan : 1983, halaman 643-646) :

1. Ketersediaan dana dari negara kreditur yang umumnya adalah negara-negara industri maju.

2. Daya serap negara penerima (debitur). Artinya debitur akan mendapat bantuan modal asing sebanyak yang dapat diguankan untuk membiayai investasi yang bermanfaat. Daya serap mencakup kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyel-proyek pembangunan, mengubah struktur perekonomian, dan mengaplikasikan kembali resources. Struktur perekonomian yang simultan dengan pendayagunaan kapasitas nasional yang akan menjadi landasan penting bagi daya serap suatu negara.

3. Ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia si negara penerima, karena tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat menghambat pemanfaatan modal asing secara efektif.

4. Kemampuan negara penerima bantuan untuk membayar kembali (re-payment).

5. Kemampuan dan usaha negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri tidak dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk memanfaatkan dengan benar oleh negara dibuat di dalam negeri. Sehingga peranan modal asing sebenarnya adalah sebagai sarana efektif untuk memobilisasi keinginan suatu negara.

Pinjaman luar negeri adalah semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam Rupiah. Sekarang ini dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia, termasuk dalam bidang finansial, menyebabkan arus modal asing semakin leluasa keluar masuk suatu negara. Pada banyak negara yang sedang berkembang, modal asing seolah-olah telah menjadi salah satu modal pembangunan yang diandalkan. Bahkan, beberapa negara saling berlomba untuk dapat menarik modal asing sebanyak-banyaknya dengan cara menyediakan berbagai fasilitas yang menguntungkan bagi para investor dan kreditur.

Khusus modal asing dalam bentuk pinjaman luar negeri kepada pemerintah, baik yang bersifat grant; soft loan; maupun hard loan, telah mengisi sektor penerimaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (goverment budget) yang selanjutnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan proyek-proyek pembangunan negara atau investasi pemerintah di sektor publik. Dengan mengingat bahwa peran pemerintah yang masih menjadi penggerak utama perkonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang, menyebabkan pemerintah membutuhkan banyak modal untuk membangun berbagai prasarana dan sarana, sayangnya kemampuan finansial yang dimiliki pemerintah masih terbatas atau kurang mendukung. Dengan demikian, maka pinjaman (utang) luar negeri pemerintah menjadi hal yang sangat berarti sebagai modal bagi pembiayaan pembangunan perekonomian nasional. Bahkan dapat dikatakan, bahwa utang luar negeri telah menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan perekonomian nasioanal yang cukup penting bagi sebagian besar negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.

Karakteristik krisis Utang dan Pembentukan Utang

Utang bagi NSB bukan lagi membantu dalam pembangunannya bahkan menjadi beban. Beban utang ini disebabkan karena : pertama, Utang yang diterima lebih banyak dinyatakan dalam bentuk mata uang asing dan bukan dalam bentuk mata uang dalam negeri sehingga rentan terhadap fluktuasi di pasar moneter internasional. Kedua, kebanyakan utang yang diterima oleh NSB dalam bentuk US$, sedangkan jumlah US$ yang tersedia dipasar internasional relatif lebih sedikit dari mata uang asing lainnya seperti Yen, Deutschmark atau poundsterling sehingga NSB mengalami kesulitan dalam memperoleh US$.

Untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat utang membebani suatu negara dapat kita lihat dari beberapa aspek. Aspek tersebut yaitu:

1. Tingkat Debt service Ratio, yaitu perbandingan antara pembayaran bunga plus cicilan utang terhadap penerimaan ekspor suatu negara. Sehingga contoh tingkat DSR Brazil dan korea selatan pada tahun 1982 masing-masing sebesar 81% dan 2,2%. Ini berarti Brazil menggunakan 81% dari ekspornya untuk membayar utangnya sedangkan Korea selatan hanya 2,2%. Menurut pengalaman di banyak negara batas aman untuk DSR adalah 20%.

2. Persentase utang terhadap GNP (debt to GNP ratio). Meskipun secara absolut jumlahnya kecil, tetapi jika persentase terhadap GNP relatif besar, hal ini akan memberatkan negara tersebut.

Kedua indikator tersebut dalam penggunaannya tergantung dari permasalahan yang dihadapai oleh masing-masing negara. Berdasarkan Tabel. 1 terlihat bahwa sebagian besar utang terserap oleh negara-negara di wilayah Amerika latin dan Karibia serta Asia Tenggara. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah alasan apa yang mendasari negara-negara tersebut untuk meminjam uang/utang?

Tabel. 1. Konsentrasi Utang Tahun 1982 (% terhadap total utang)

Negara%
Sub-Sahara Afrika Asia Tenggara Amerika latin dan Karibia Afrika Utara dan Timur Tengah10,8 26,8 51,3 11,1

Sumber : Bank Dunia

Sebagaimana diketahui untuk membangunan suatu negara diperlukan adanya dana yang cukup untuk membiayai kegiatan investasi. Di sisi lain negara-negara tersebut tidak mampu menyediakan dana yang cukup. Ketidakmampuan ini antara lain disebabkan oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut.

1) Kurangnya tabungan dalam negeri ( saving-investment gap )

Kekurangan tabungan ini tidak lain karena rendahnya tingkat pendapatan penduduk di samping sistem keuangan yang belum memadai.

2) Kurangnya kemampuan untuk menghasilkan devisa ( foreign exchange )

Untuk melakukan transaksi perdagangan internasional diperlukan devisa, sementara kemampuan NSB dalam menghasilkan devisa masih rendah.

Kedua faktor itulah yang pada akhirnya mendorong NSB untuk meminjam dana dari luar negeri dalam bentuk mata uang asing dan bukan mata uang domestik. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan tingkat bunga pinjaman yang tinggi, rendahnya harga barang-barang ekspor yang dihasilkan oleh NSB (sebagian penghasil bahan mentah), dan rendahnya tingkat permintaan terhadap produk-produk NSB. Faktor-faktor tersebut semakin mempersulit bagi NSB untuk membayar utangnya.

Penyebab Timbulnya Krisis Utang

Benih-benih krisis sebenarnya sudah mulai terlihat pada periode 1974-1979. Saat itu terjadi peningkatan pinjaman internasional yang luar biasa, yang sebagian disebabkan oleh lonjakan harga minyak pada tahun 1974 dan kebutuhan mengejar pertumbuhan ekonomi. NICs terutama Mexico, Brazil, Venezuela, Argentina memang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata negara berkembang. Namun, rekor pertumbuhan ekonomi tersebut didukung terutama oleh strategi pembangunan yang semakin outward-looking. Mereka menggenjot ekspor dan impor barang modal secara agresif, serta mengundang bantuan luar negeri secara berlebihan. Hanya sayangnya struktur industri mereka kebanykan masih mengandung komponen impor yang tinggi.

Ketika terjadi lonnjakan harga minyak yang kedua tahun 1979, keadaan mulai berbalik dengan mulai meningkatnya tingkat bunga Internasional secara drastis. Yang terakhir ini disebabkan oleh kebijakan stabilisasi ekonomi di negara maju, dan penurunan penerimaan ekspor negara berkembang akibat kombianasi turunya pertumbuhan ekonomi di negera maju dan penurunan harga ekspor komoditi primer lebih dari 20 persen, di tambah lagi dengan kewajiban membayar bunga dan cicilan utang luarr negeri di masa lampau dan mulai jatuh tempo pinjaman komersial. Di banyak NSB, keadaan ini diperparah dengan modal yang terbang ke luar negeri (capital flight) dan defisit transaksi berjalan (current account) yang substansial.

Menurut Gibson dan Tsakalator (1992), penyebab timbulnya krisis utang dapat ditinjau dari tiga hal: pertama, sistem moneter Internasional. Kedua, sistem perbankan swasta internasional. Ketiga, negara peminjam itu sendiri.

2.1.5.1 Sistem Moneter Internasional

Adanya ketergantungan antarnegara dalam hal ini antara Negara yang mempunyai surplus dalam neraca pembayaran dengan Negara yang mengalami defisit dalalm neraca pembayarannya, memerlukan suatu system moneter internasionalnya yang mampu memutarkan dana dari Negara yang mengalami surplus dengan Negara yang mengalami defisit.

Konferensi di Bretton Woods pada bulan juli 1944 berhasil membentuk satu badan moneter internasional yaitu IMF (Internasional Monetery Fund). Badan ini bertanggung jawab untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan dalam memutarkan dana dari Negara-negara surplus ke Negara-negara defisit. System ini berjalan dengan baik pada tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an. Pada tahun 1070-an hingga awal 1980-an system ini mulai tidak berjalan, yang ditandai antara lain dengan semakin menurunnya peran IMF dalam menyelesaikan kesenjangan antara Negara yang mengalami surplus dalam neraca pembayarannya dengan Negara yang mengalami defisit dalam neraca pembayarannya. Proses perputaran dana lebih banyak dilakukan melalui mekanisme pasar sehingga semakin mempersulit posisi NSB selaku Negara yang mengalami defisit.

2.1.5.2 Sistem Perbankan Swasta Internasional

Mekanisme pasar dalam melakukan perpuaran dana mengijinkan peran dari bank komersial swasta internasional untuk memberikan pinjaman kepada Negara-negara yang mengalami defisit. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana pihak bank memutuskan besarnya pinjaman yang diberikan kepada Negara-negara peminjam?

Ada dua hal yang dujadikan pertimbangan bagi bank-bank swasta dalam memberikan pinjman, yaitu: pertama, rasio kredit dan persaingan antara bank. Rasio kredit antarnegara peminjam dibedakan berdasarkan atas risiko dari Negara peminjam. Semakin tinggi risiko Negara tersebut semakin tinggi pula rasio kredit yang harus ditanggung oleh Negara tersebut. Sebagai contoh pada tahun 1977, dengan mengguanakan tingkat bunga LIBOR (suku bunga antar bank di London); Spread yang dikenakan terhadap Negara mengekspor minyak hanya 1,6%, sedangkan Spread yang dikenakan pada oengimpot minyak sebesar 1,85%. Di samping itu semakin besar risiko suatu Negara senakin kekcil jumlah pinjaman yang dapat diperolehnya. Di sis lain, persaingan yang ketat antarbank kadang-kadang menyebabkan pihak penerbangan kurang hati-hati dalam memberikan pinjaman. Ketatnya persaingan antarbank dapat dilihat dari semakin banyaknya jumlah bank devisa yang beroperasi.

Ketatnya persaingan antarbank menyebabkan adanya kecenderungan bagi bank- bank kecil untuk sekedar mengikuti tindakan yang dilakukan oleh bank-bank besar dalam meminjamkan uangnya tanpa melihat atau memperhitungkan kembali risikonya.

Faktor Dari Negara Peminjam

Dua faktor utama yang dianggap sebagai penyebab timbulnya krisis utang yang berasal dari Negara peminjam Yaitu:

1. Hubungan antara Peminjam dan Investasi

Investasi yang dilakukan dengan menggunakan dan pinjaman secara kuantitas mengalami peningkatan tetapi secara kualitas tidak. Meskipun investasi yang dilakukan memberikan tambahan nilai social ( in vestasi di bidang infrastuktur, pendidikan) tetapi tidak cukup mampu untuk menciptakan kemampuan untuk membayar kembali utang-utangnya. Di samping itu, investasi yang dilakukan tidak mampu mendorong baik secara langsung maupun tidak langsung pendapatan nagara dari ekspor, di mana devisa dari ekspor diharapkan dapat digunakan untuk membayar utang-utangnya.

2. Adanya Aliran Dana Ke Luar Negeri ( Capital Flight )

Banyaknya aliran dana ke luar negeri disebabkan karena alasan spekulasi (antisipasi adanya devaluasi) atau ketidakstabilan dalam bidang ekonomi dan politik. Adanya capital flight mengakibatkan turunya investasi dalam negeri, yang berakibat pada rendahnya output nasional. Rendahnya output nasional berakibat meningkatnya tingkat DSR. Tingginya tingkat DSR menimbulkan adanya spekulasi yang mendorong adanya modal yang mengalir ke luar negeri. Demikian seterusnya sehingga proses yang berjalan merupakan vicious circle.

Manajemen Krisis Utang

Pendekatan yang digunakan dalam menangani krisis uang ini adalah pendekatan case-by case, artinya kebijakanyang diterpkan disetiap Negara tidak selalu sama. Perbedaan tersebut didasarkan atas komposisi jenis utangnya. Adapun jenis utang yang dimaksud di sini adalah utang pemerintah dengan utang komersial. Utang komersial biasanya tingkat bunganya lebih tinggi dibandingkan utang pemerintah, di samping itu tenggang waktu pengembaliannyaoun lebih pendek. Manajemen yang diterpkan dalam krisis utang, baik terhadap utang pemerintah maupun utang komersial, diwujukan dalam kebijakan penjadwalan kembali utang. Hanya jenis kebijakannya berbeda antara penjadwalan kembali untuk utang swasta dengan penjadwalan kembali untuk utang komersial.

Perjanjian penjadwalan kembali pada utang pemerintah biasanya dilakukan melalui perantara “Club Paris” yang dibentuk oleh beberapa Negara Eropa pada tahun 1956. Tujuan pembentukan dari Organisasi ini adalah untuk membantu NSB yang mengalami kesulitan dalam pembayaran kembali utamg-utangnya. Bentuk perjanjian penjadwalan kembali untuk utang-utang pemerintah berupa perpanjangan tenggang waktu pengembalian, pengurangan tingkat bunga pinjaman, pengunduran waktu pengembalian, keringanan utang termasuk diantaranya penghapusan utang itu sendiri. Bentuk perjanjian kembali untuk utang-utang komersial berupa:

1. Bridging loan, yaitu pinjaman sementara yang diberikan untuk membiayai masa krisis hingga diperoleh dana baru dari IMF atau bank-bank komersial lainya. Pinjaman ini biasanya dijamin oleh pemerintah USA atau Bank for Internasional Settlement (BIS).

2. Paket kebijakan IMF yaitu pelaksanaan paket kebijakan yang telah ditetapkan IMF sebelum perjanjian penjadwalan kembalian disetujui oleh kedua pihak.

3. Penundaan pembayaran dengan mengenakan tingkat bunga tertentu. Pihak peminjam dapat menunda pembayaran utang pokoknya dan hanya membayar bunganya saja, hanya tingkat bunga yang diterapkan lebih tin ggi dari tingkat bunga yang berlaku di pasar.

4. Pemberian pinjaman baru dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar.

Untuk mengatasi kecenderungan net transfer yang negatif , beberapa NSB melaksanakan beberapa kebijakan sebagai berikut:

1.Melakukan devaluasi terhadap nilai tukar uang domestic

Devaluasi berakibat pada naiknya harga barang-barang impor, sedangkan barang-barang ekspor relatif lebih murah. Kebijakan ini diharapkan mampu menyeimbangkan neraca pembayaran dengan menurunkan impor dan meningkatkan ekspor.

2.Pembatasan ekspansi kredit

Kebijakan ini diharapkan mampu membatasi supalai uang. Keterbatasan dana yang ada di masyarakat diharapkan akan menurunkan permaintaan masyarakat terutama permintaan atas barang-barang impor. Di samping itu kebijakan ini akan menurunkan tingkat inflasi.

3.Menurunkan defisit dalam anggaran pemerintah, terutama penurunan pengeluaran pemerintah.

4.Penghapusan subsidi harga, terutama pada barang-barang publik.

Keempat kebijakan diatas dalam jangka pendek telah berhasil mendorong terciptanya surplus dalam transaksi berjalan sehingga memungkinkan bagi NSB untuk membayar utang nya. Di sisi lain, kebijakan tersebut memerlukan biaya tersendiri, yaitu biaya social ekonomi serta turunya tingkat pertumbuhan perekonomian. Untuk memecahkan masalah tersebut diperlukan solusi lain untuk mengatasi krisis utang internasional.

Solusi Krisis Utang Internasional

Krisis Utang luar negeri pada hakekatnya adalah krisis likuiditas di suatu negara, dan bukan masalah insolvensi. Indikator utama adanya krisis adalah tingginya DSR (debt-service ratio) yang biasanya di atas rata-rata negara berkembang sekaligus juga mengalami kesulitan ekspor. Cakupan krisis ini, menurut Thirwall, pada dasarnya dapat dikategorikan dua (Shahadan & Idris, 1987 : Bab 1): Pertama, sejumlah kecil negara miskin yang tergantung pada ekspor komoditas primer, khususnya di afrika, di mana bank komersial tidak terlibat. Kedua, sejumlah negara yang meminjam dari sistem perbankan komersial dengan tingkat bunga mengambang ( floating rate of interest), sementara pada waktu bersamaan pasar ekspornya baru anjlok. Dengan demikian, krisis utang luar negeri sebenarrnya mencakup tidak hanya krisis negara pengutang, tapi juga krisis sistem perbankan internasional (komersial) dan krisis ekonomi dunia karena berakibat arus pinjaman internasional menjadi menciut.

Dalam forum internasional, negara donor dan negara pengutang saling menyalahkan (sachs, 1989 : Bab 1). Negara donor cenderung menuding krisis utang akibat kesalahan kebijakan negara pengutang. Pinjaman dihamburkan untuk menutup inefisiensi perusahaan negara, atau dilarikan oleh oknum penguasa ke luar negeri (capital flight). Sementara negara pengutang berpendapat munculnya krisis disebabkan oleh naiknya suku bunga internasional pada awal 1980-an. Meraka menyalhkan kebijakan makro negara donor, terutama kebijakan fiskal Amerika Serikat. Pemerintah di negara pengutang lebih jauh berpendapat bahwa diperlukan semacam “penyesuaian” dengan cara pembayaran kembali utang mereka diperingan (debt relief).

Berdasarkan uraian sebelumnya, tujuan mendasar yang hendak dicapai oleh NSB adalah bagaimana mengurangi utangnya secara substantif serta tersedianya dana untuk membiayai proses pembangunannya. Ada tiga solusi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu:

1. Melaksanakan pembangunan dangan sebagian dananya berasal dari utang luar negeri, meskipun kebijakan ini akan memperpanjang masa krisis selama investasi yang ditanamkan belum memberikan hasil.

2. Mengubah sistem keuangan internasional yang memungkinkan bagi NSB untuk lebih mengontrol negara industri dan bank-bank swasta.

3. Kombinasi dari keduanya, di mana institusi internasional dalam membiayai pembangunan di NSB, di sisi lain bank-bank swasta juga diberikan wewenang dalam penyediaan dana.

2.1.8Capital Flight

Masalah pelarian modal ke luar negeri (capital flight) merupakan agenda permasalahan yang senantiasa hangat dibicarakan selain krisis utang. Banyak yang berpendapat bahwa masalah ini merupakan salah satu sumber terus meningkatnya utang NSB. Pelarian modal di Argentina, misalnya, telah menambah akumulasi utang luar negerinya sekitar 20 persen selama 1979-84. Dengan kata lain, krisis utang yang melanda banyak negara tidak akan terselesaikan dengan tuntas tanpa menghilangkan sebab-sebab larinya modal dari negara-negara tersebut kenegara-negara maju.

Kendati demikian, nampaknya perlu ditekankan bahwa pelarian modal bukan “penyakit” namun lebih merupakan gejala dari “penyakit” (Giancarlo Perasso, 1989). Ini merupakan hasil kombinasi antara manajemen makro ekonomi yyang kacau, kinerja perekonomian yang “di bawah satandar”, dan sering disertai dengan situasi polotik dan sosial yang tidak kondusif (misalnya perang).

Hal yang sering diperdebatkan adalah: apa yang dapat dikategorikan sebagai pelarian modal keluar negeri? Nampaknya belum ada kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan capital flight ( Mahyudidin, 1989; Hadar, 1989). Secara umum, diartikan sebagai arus modal keluar negeri dalam jangka pendek, dan biasanya digunakan untuk tujuan spekulatif. Ia bisa berupa “uang panas” (uang hasil korupsi atau untuk menghindari pajak) yang ditransfer ke bank di negara maju atas nama pribadi (misalnya kasus komisi Thahir), bisa pula dalam wujud transfer keuntungan dari pengusaha domestik ke pengusaha asing dalam sebuah perusahaan patungan, atau memang uang yang mondar mandir ke pasar uang dan modal internasional mencari return yang lebih tinggi.

Lepas dari perbedaan arti capital flight, hal tersebut diyakini ada. Masalahnya tidak mudah menghilangkan penyebab larinya modal keluar negeri. Banyak yang sependapat, setidaknya ada dua sebab utama yang diduga keras merupakan sumber pelarian modal. Pertama, suku bunga di NSB yang tidak “realistis”, yang sering disertai kurs mata uang NSB yang tidak stabil. Dengan kata lain, untuk menghambat pelarian modal ke luar negeri, penentuan suku bunga dalam negeri harus memperhitungkan suku bunga diluar negeri dan prakiraan laju depresiasi mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Kedua, yang paling susah diatasi adalah daya sedot pasar modal di Negara maju, khususnya di kawasan EuroDolarYen. Menurut Hadar (1989), daya sedot ini dapat bekerja secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung bila dalam persaingan antarbank, mereka menawarkan berbagai iming-iming untuk menarik nasabah. Secara tidak langsung, bila misalnya, pemerintah Negara-negara industri dalam upaya menyeimbangkan defisit anggaran belanjanya turut campur tangan dalam pasar modal dengan menaikkan tingkat bunga bank.

Studi Morgan Guaranty Trust Company (1986) yang meliputi 18 negara berkembang menujukan bahwa selama periode 1975-1986 telah terjadi pelarian modal dari Negara-negara ini sebanyak 198 miliar dolar AS, yang diiringi dengan peningkatan utang luar negeri Negara-negara sebesar 451 miliar dolar AS. Negara-negara berkembang itu meliputi Argentina, boliva, brazil, chili, kolombia, ekuador, india, Indonesia, Malaysia, mexico, Nigeria, peru, Filipina, afrika selatan, korea selatan, Thailand, Uruguay, dan Venezuala. Khusus mengenai Negara-negara Amerika latin dilaporkan bahwa selama periode 1973-1985 sebesar 40 persen dari tambahan utang luar negeri Negara-negara ini, selam periode itu telah digunakan untuk membiayai pelarian modalnya yang nilainya 151 miliar dolar AS (Pastor, 1990). Sementara study yang dolakuakan boyce (1992) mengenai pelarian modal dari Filipina dalam periode 1982-1986 menunjukan pengaruh yang signifikan yang ditimbulkan pelarian modal dalam peningkatan utang luar negeri Filipina pada tahun 1986.

Sedangkan untuk kasus di Indonesia diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Mubarik akhmad (1993). Selama periode 1970-1980, secara kumulatif sebesar 9,4 miliar AS atau 51 persen dari pertambahan utang luar negeri Indonesia yang nilainya 18,26 miliar dolar AS telah digunakan untuk membiayai pelarian modal. Selama periode 1988-1991 sebesar 11,7 miliar dolar AS atau 42 persen dari pertambahan utang luar negeri Indonesia telah digunakan untuk membiayai pelarian modal.

Berdasarkan penemuan-penemuan empiris tersebut, setidaknya ada tiga dampak negatif negara-negara tersebut (Arief, 1999):

a. Pelarian modal menimbulkan apa yang disebut growth coctc, yaitu membatasi potensi pertumbuhan ekonominasional. Modal ang dilarikan keluar negeri tidak memberikan konstribusi sama sekali terhadap investasi domestik yang diperlukan untuk membiayai pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pada umumnya tidakada bukti-bukti bahwa telah terjadi repatriasi keuntungan investasi yang dilakukan di luar negeri ke dalam Negara-negara berkembang yang mengalami pelarian modal. Modal ini dilarikan ke luar negeri yang menimbulkan dampak negative terhadap tersefianya devisa yang dibutuhkan untuk mengimpor input-output yang diperlukan untuk menopang produk domestic. Dalam hal ini, termasuk produsik domestic yang menghsilkan barang-barnag ekspor untuk memperoleh devisa yang pada ronde berilutnya digunakan untuk membiayai impor yang diperlukan.

b. Pelarian modal menimbulkan erosi dalam basis pajak(erosion of the tax base). Situasi ini terutama dihadapi oleh negar-negar berkembang yang menganut prinsip “tempat asal” (origin), bukan prinsip “domisili” (residence) dalam system perpajakannya.