Pengertian Konsep Diri
Manusia adalah makhluk biopsikososial yang unik dan menerapkan system terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan ini disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan lingkungannya. Sebagai makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal positif Konsep diri adalah pengetahuan individu tentang diri, misalnya “saya kuat dalam matematika”.
Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan percampuran yang kompleks dari perasaan, sikap & persefsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri memberikan kita kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Kita mulai membentuk konsep diri saat usia muda. Masa remaja adalah waktu yang kritis ketika banyak hal secara kontinu mempengaruhi konsep diri. Jika seseorang mempunyai masa kanak-kanak yang aman dan stabil, maka konsep diri masa remaja anak tersebut secara mengejutkan akan sangat stabil. Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stres atau konflik.
Konsep diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu sama lain. Klien yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik akan dapat meningkatkan konsep diri. Termasuk persepsi indvidu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Lebih menjelaskan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh : fisikal, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual.
Konsep diri belum ada saat dilahirkan, tetapi dipelajari dari pengalaman unik melalui eksplorasi diri sendiri hubungan dengan orang dekat dan berarti bagi dirinya. Dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Konsep diri berkembang dengan baik apabila : budaya dan pengalaman di keluarga dapat memberikan perasaan positif, memperoleh kemampuan yang berarti bagi individu / lingkungan dan dapat beraktualissasi, sehingga individu menyadari potensi dirinya. Respons individu terhadap konsep dirinya berfluktuasi sepanjang rentang konsep diri yaitu dari adaptif sampai maladaptive.
Beberapa Pengertian konsep diri menurut para ahli :
- Menurut Burns (1982),
konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Sedangkan Pemily (dalam Atwater, 1984), mendefisikan konsep diri sebagai sistem yang dinamis dan kompleks diri keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut.
- Stuart dan Sudeen (1998),
konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.
- Seifert dan Hoffnung (1994)
mendefinisikan konsep diri sebagai “suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang konsep diri.“
- Cawagas (1983)
menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya.
- Santrock (1996)
menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari konsep diri.
- Atwater (1987)
menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya.
Secara keseluruhan disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara seseorang untuk melihat dirinya secara utuh dengan semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Dimensi – Dimensi Dalam Konsep Diri
Williams Fitts (dalam agustiani, 2006) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Dimensi Internal
Dimensi Internal atau yang disebut juga kerangka acuan (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu yakni penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya.
Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk:
a. Diri identitas (identity sett)
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya “Saya x”. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan halhal yang lebih kompleks, seperti “Saya pintar tetapi terlalu gemuk “ dan sebagainya.
b. Diri Pelaku (behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai apa yang dilakukan oleh diri. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.
c. Diri Penerimaan/penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara mediator) antara diri identitas dan diri pelaku. Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenal pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya.
Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk merupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri, dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif. Ketiga bagian internal ini mempunyai peranan yang berbeda-beda, namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.
2. Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta halhal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Williams Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu:
a. Diri Fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).
b. Diri etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan perspsi seseorang terhadap dirinya dilihat Dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Maka ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang muliputi batasan baik dan buruk.
c. Diri Pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
d. Diri Keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, Serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
e. Diri Sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seseorang tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki fisik yang baik tanpa adanya reaksi dari orang lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik ia memang menarik. Demikian Pula seseorang tidak dapat mengatakan bahwa dirinya memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi orang lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa dirinya memang memiliki pribadi yang baik.
Perkembangan Konsep Diri
Puspitasari (2007), mengatakan bahwa konsep diri merupakan sebuah proses yang berkelanjutan, proses menilai yang bersifat organismik, bukan lagi bersifat statis tetapi mampu untuk menyesuaikan kembali dan berkembang sebagai pengalaman-pengalaman baru yang terintegrasikan. Konsep diri berkembang sesuai dengan perkembangan diri jiwa seseorang, maupun dari pengalaman-pengalaman yang seseorang temukan.
Menurut Symonds (2008), mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran, tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan perseptif. Persepsi tentang diri yang ada pada remaja akan berkembang sesuai dengan tahapan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang dimiliki manusia tidak terbentuk secara instan, melainkan dengan proses belajar sepanjang hidup manusia. Ketika individu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak memiliki harapan yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian terhadap dirinya. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhan, terutama akibat hubungan dengan individu lain.
Dalam berinteraksi, setiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan dijadikan cermin bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri. Pada akhirnya individu mulai bisa mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkannya serta dapat melakukan penilaian terhadap dirinya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi dalam Konsep Diri
Rahmat (dalam Wijaya 2000) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah:
a. Orang Lain
Tidak semua orang memiliki pengaruh yang sama pada masing-masing diri individu, tetapi yang paling berpengaruh pada diri individu tersebut adalah orang-orang terdekat seperti orang tua, saudara dan orang yang tinggal satu rumah dengan individu yang bersangkutan karena memiliki hubungan yang emosional.
b. Kelompok Rujukan
Setiap kelompok memiliki norma-norma tertentu dimana ada kelompok yang secara emosional mengikat individu dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri.
Menurut Hurlock (dalam Wijaya 2000) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah:
a. Usia Kematangan
Individu yang matang lebih awal yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan. Individu yang matang terlambat yang diperlakukan seperti anak-anak mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan.
b. Penampilan Diri
Penampilan diri yang berbeda membuat individu merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Setiap cacat fisik merupakan hal yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri.sebaliknya daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.
c. Jenis Kelamin
Jenis Kelamin dalam penampilan diri, minat dan prilaku membantu individu mencapai konsep diri yang baik. Jika membuat individu sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada prilakunya.
d. Nama Dan Julukan
Individu merasa malu jika teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau jika mereka memberikan julukan bernada cemooh.
e. Hubungan Keluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan anggota keluarga mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis individu akan tergolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk dirinya.
f. Teman Sebaya
Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian individu dalam 2 cara yang pertama, konsep diri individu merupakan cerminan dari anggapan mengenai konsep teman tentang dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompoknya.
g. Kreatifitas
Individu yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatifitas dalam melakukan tugas-tugas akademik, mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang mempengaruhi konsep dirinya.
h. Cita-cita
Bila cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan. Sedangkan individu yang memiliki cita-cita yang realistis akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar untuk memberikan konsep diri yang baik.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah: keluarga dan lingkungan. Keluarga adalah orang tua yang berpengaruh besar terhadap perkembangan konsep diri individu. Kemudian lingkungan sangat berpengaruh, terutama bagi orang yang mempunyai arti khusus bagi diri individu, orang lain, kelompok rujukan, usia kematangan, penampilan diri, jenis kelamin, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman sebaya, kreatifitas, cita-cita.
Peran Konsep dalam Perilaku Aktualisasi Diri
Roger (Coulhorn, 1990) mengatakan bahwa meskipun diri mempunyai tendensi inheren untuk mengaktualisasikan diri, namun sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya oleh lingkungan sosial.
Pengalaman pada masa kanak-kanak memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan individu tersebut untuk mengaktualisasikan diri. Sebagai bagian dari konsep diri, individu juga akan mengembangkan gambaran akan menjadi siapa atau mungkin ingin menjadi siapa dirinya nanti (diri ideal). Gambaran-gambaran itu dibentuk sebagai akibat dari bertambah kompleksnya interaksi-interaksi dengan orang lain. Dengan mengamati reaksi orang lain terhadap tingkah lakunya, individu secara ideal akan mengembangkan suatu pola kemungkinan adanya beberapa ketidakharmonisan antara diri yang sebagaimana adanya dengan diri ideal dapat diperkecil. Karena ketidaksesuaian antara gambaran diri yang sebenarnya dengan diri ideal akan menimbulkan ketidakpuasan dalam penyesuaian diri.
Hal ini disebabkan sebagian besar penilaian tentang harga diri tergantung pada seberapa dekat seseorang dengan ideal self-nya.
Semakin dekat diri yang sebenarnya dengan diri ideal, semakin tinggi pula harga diri seseorang.Harga diri merupakan evaluasi seseorang terhadap diri sendiri,yang menyatakan sikap menerima atau menolak, bahkan lebih jauh dikemukakan bahwa harga diri akan menunjukkan seberapa besar seseorang percaya bahwa dirinya mampu, berarti berhasil dan beharga. Harga diri ini akan menentukan penerimaan diri, menurut Jersild (Hurlock, 1974) adalah individu dapat menerima emosi-emosinya, memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk mengatasi hidup, mau menerima tanggung jawab dan tantangan terhadap kemampuannya, tanpa menjangkau hal-hal yang tidak mungkin dan mempunyai penghargaan yang sehat terhadap hak-haknya dan diri sebagai orang yang berguna meskipun tidak sempurna.
Penerimaan diri ini bukan berarti merasa puas terhadap diri sendiri, tetapi lebih cenderung kepada kemauan untuk menghadapi kenyataan-kenyataan dan kondisi-kondisi hidup, baik yang menyenangkan ataupun tidak, menurut kemampuannya.Dalam kaitannya dengan aktualisasi diri, Rogers (Coulhoun, 1990) mengatakan bahwa kunci dari aktualisasi diri adalah konsep diri. Orang yang positif berarti memiliki penerimaan diri dan harga diri yang positif. Mereka menganggap dirinya berharga dan cenderung menerima diri sendiri sebagaimana adanya. Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri negatif, menunjukkan penerimaan diri negatif pula. Mereka memiliki perasaan kurang berharga, yang menyebabkan perasaan benci atau penolakan terhadap diri sendiri.
Johnson dan Medinnus (dalam Hurlock, 1974) mengatakan bahwa konsep diri yang positif yang nampak dalam bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan penerimaan diri adalah merupakan dasar perkembangan kepribadiaan yang sehat. Oleh karena itu sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kepribadian yang sehat merupakan syarat dalam mencapai aktualisasi diri, maka hanya orang yang memiliki konsep diri positif saja yang akan dapat mengaktualisasikan diri sepenuhnya. Sedangkan orangorang yang memiliki konsep diri negatif cenderung mengembangkan gangguan dalam penyesuaian diri. Hal ini disebabkan adanya ketidakharmonisan (incongruence) antara konsep diri dengan kenyataan yang mengitari mereka atau dengan kata lain mereka tidak dapat mengembangkan kepribadian yang sehat. Oleh karena itu mereka tidak dapat mengaktualisasika semua segi dari dirinya.