Search for Knowledge
“A mistake is a signal that it is time to learn something new, something you didn’t know before.”

Perilaku Manajemen, Biaya Agen dan Struktur Kepemilikan

 Perilaku Manajerial

 

Sebagai figur untuk anak buah, pemimpin, dan penghubung. yang kedua adalah peran informasional, meliputi manager sebagai pemantau dan penyebar informasi, serta sebagai juru bicara. yang ketiga adalah pengambilan keputusan, meliputi sebagai seorang wirausahawan, pemecah masalah, pembagi sumber daya, dan perunding. Mintzberg kemudian menyimpulkan bahwa secara garis besar, aktivitas yang dilakukan oleh manager adalah berinteraksi dengan orang lain.

 

Berdasarkan sikap dan perilaku para manager internasional dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

1.        Ethnocentric manager / manager etnosentris ethnocentric manager adalah manager yang memiliki anggapan atau persepsi bahwa budaya dan perilaku kerja di negara tempat asalnya jauh lebih baik daripada tempat lain. Contohnya adalah di mana para manager asing lebih suka memberikan kesempatan jenjang karir pada pekerja asing saja sehingga menimbulkan diskriminasi.

2.        Polycentric manager / manager polisentris polycentric manager adalah manager yang menggangap bahwa pekerja asing dan pekerja lokal memiliki perbedaan yang cukup jauh dan tenaga kerja dalam negeri lebih memiliki daya saing dan skill di lapangan.

3.        Geocentric manager / manager geosentris geocentric manager memiliki suatu anggapan yang lebih realistik dibanding kedua jenis manager di atas. Manager geosentris memahami bahwa terdapat kekurangan dan kelebihan pada budaya yang ada sehingga perlu dibuat adanya penyesuaian budaya dengan memnggabungkan keduanya untuk membentuk budaya yang baru yang lebih kuat dan efektif.[5]

 

Menurut Bass dan Avolia konsep dari kepemimpinan yaitu:

a.       Idealized Influence, yaitu perilaku rasa hormat (respect) dan percaya diri dari orang-orang yang dipimpinnya. Makna saling berbagi risiko.

b.      Inpirational motivation, yang tercermin dalam perilaku yang senantiasa menyediakan tantangan dan makna pekerjaan orang-orang yang dipimpin, termasuk didalamnya adalah perilaku yang mampu mendemostrasikan komitmen terhadap organisasi. Semangat ini dibangkitkan melalui antusiasme dan optmisme.

c.       Intellectual Simulation, menggali ide-ide baru dan solusi yang kretif dari orang-orang yang dipimpinnya.

d.      Indivualized conideration, selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan prestasi dan kebutuhan orang-orang yang dipimpinya.

 

Berbagai kompetensi dapat menjadi referensi, diantaranya adalah kompetensi yang ada di dalam buku Competence at Work yang ditulis oleh Lyle M. Spencer, Jr., PhD dan Signe M. Spencer. Di dalam buku tersebut ada 20 kompetensi yang bisa menjadi referensi dalam menyusun standar kompetensi. Di dalam buku tersebut juga dijelaskan kompetensi berdasarkan kelompok (cluster) kompetensinya, yaitu:

·         Achievement and action

·         Helping and human service

·         The impact and influence cluster

·         Managerial

·         Cognitive

·         Personal Effectiveness

Dari kompetensi manajerial/ kepemimpinan tersebut, saya akan fokus membahas kelompok kompetensi managerial. Kelompok kompetensi manajerial memiliki beberapa kompetensi, yaitu:

1.       Developing others

2.       Directiveness: assertiveness and use of positional power

3.       Teamwork and cooperation

4.       Team leadership

masing-masing kompetensi tersebut memiliki indikator perilaku kompetensi yang menandakan seseorang sudah bersikap sesuai dengan kompetensi tersebut. Berikut ini adalah indikator perilaku kompetensi pada kelompok kompetensi manajerial.

1.       Developing others

·         Menunjukkan harapan positif terhadap orang lain, bahkan dalam kasus yang “sulit”. Mempercayai bahwa orang lain ingin dan dapat belajar.

·         Memberikan arahan atau demonstrasi dengan alasan atau dasar pemikiran dimasukkan sebagai strategi pelatihan.

·         Memberikan umpan balik negatif dalam berperilaku dari pada hal yang bersifat pribadi, dan mengungkapkan harapan positif untuk kinerja masa depan atau memberikan saran individu untuk perbaikan.

·         Mengidentifikasi pelatihan atau pengembangan yang dibutuhkan dan merancang atau membangun program serta atau bahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

·         Mendelegasikan tugas atau tanggung jawab untuk tujuan pengembangan terhadap orang lain.

 

2.       Directiveness: assertiveness and use of positional power

·         Menghadapi orang lain secara terbuka dan langsung tentang masalah kinerja.

·         Secara sepihak menetapkan standar; menuntut kinerja tinggi, kualitas, atau sumber daya;

·         Dengan sungguh-sungguh mengatakan “tidak” pada permintaan yang tidak beralasan, atau menetapkan batas bagi orang lain dalam berperilaku.

·         Memberikan arahan yang detail, menugaskan untuk menyelesaikan pekerjaan atau untuk membebaskan diri sendiri untuk prioritas yang lebih tinggi.

·          

3.       Teamwork and cooperation

·         Meminta ide dan pendapat orang lain untuk membantu dalam membentuk keputusan atau perencanaan.

·         Menjaga agar semua orang mendapatkan informasi tentang proses dalam kelompok, membagi semua informasi yang relevan dan berguna.

·         Menunjukkan ekpektasi yang positif dari orang lain.

·         Memberikan kredit kepada orang lain dihadapan orang banyak atas prestasi yang dicapai.

·         Mendorong dan memberdayakan orang lain, membuat mereka merasa kuat dan penting.

 

4.       Team leadership

·         Menginformasikan orang: memungkinkan orang yang terkena dampak dari suatu keputusan, tahu apa yang terjadi.

·         Melakukan usaha tertentu secara pribadi untuk memperlakukan semua anggota grup secara adil.

·         Menggunakan strategi yang rumit untuk mempromosikan semangat tim dan produktivitas (keputusan mempekerjakan dan memecat, penugasan tim, pelatihan lintas bidang, dan lain-lain).

·         Memastikan kebutuhan praktis kelompok terpenuhi. Tingkat ini biasanya terlihat dalam situasi seperti militer dan pabrik, tetapi juga diterapkan untuk memperoleh sumber daya yang kurang nyata bagi bawahan profesional atau manajerial.

·         Memastikan bahwa orang lain mengikuti visi, misi, tujuan, agenda, situasi, arah dan kebijakan pemimpin.

 

Biaya Agensi (Cost Agency)

Biaya keagenan atau cost agency adalah biaya yang dikeluarkan oleh pemegang saham untuk memastikan manajemen berperilaku tidak merugikan pemegang saham dan bertindak untuk memaksimalkan kesejahteraan prinsipal.

 

Jurnal pada makalah teori agensi yang berjudul Journal of Finance oleh Michael J dan William M (1976) mengatakan setidaknya ada 3 jenis biaya agen:

  1. Biaya yang dikeluarkan untuk mengawasi aktivitas manajerial, contohnya biaya audit
  2. Biaya yang dikeluarkan untuk membatasi  tindakan manajemen yang tidak diinginkan. Contohnya menunjuk anggota dari luar untuk dewan direksi atau hierarki manajemen.
  3. Biaya peluang (opportunity cost) ketika suara pemegang saham dibatasi. 

Pengaturan pengeluaran biaya agen harus diatur agar tidak berlebihan. Biaya keagenan tidak boleh “besar pasak daripada tiang”.  mengeluarkan banyak biaya hanya untuk pengawasan namun dengan output yang tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Sedangkan Jensen and Meckling [1976] membagi jenis biaya agensi ini menjadi 3 jenis:

  1. Monitoring cost. Biaya yang muncul untuk mengawasi, mengukur, mengamati dan mengontrol perilaku agen.
  2. Bonding Cost. Biaya yang justru ditanggung oleh manajemen (agen) untuk bisa mematuhi dan menetapkan mekanisme yang ingin menunjukkan bahwa agen telah berperilaku sesuai dengan kepentingan prinsipal.
  3. Residual Loss. Biaya yang berupa menurunnya kesejahteraan prinsipal sebagai akibat dari adanya perbedaan keputusan agen dan keputusan prinsipal.

Sumber biaya

Biaya ini terdiri dari dua sumber utama:

1.       Biaya inheren terkait dengan penggunaan agen (misalnya, risiko bahwa agen akan menggunakan sumber daya organisasi untuk keuntungan mereka sendiri) dan

2.       Biaya teknik yang digunakan untuk mengurangi masalah yang terkait dengan agen menggunakan informasi -pertemuan lebih lanjut tentang apa yang dilakukan agen (misalnya, laporan keuangan biaya produksi ) atau menggunakan mekanisme untuk menyelaraskan kepentingan agen dengan principal ( misalnya kompensasi eksekutif dengan pembayaran ekuitas seperti opsi saham ).

Tujuan dan Manfaat Teori Agensi

Setidaknya terdapat 2 tujuan dan manfaat dari mekanisme teori agensi, antara lain:

  1. Mengevaluasi hasil dari kontrak kerja antara prinsipal dan agen. Apakah kontrak kerja sama telah berjalan dengan apa yang telah disepakati atau tidak.
  2. Meningkatkan kemampuan baik prinsipal ataupun agen dalam mengevaluasi kondisi dimana sebuah keputusan harus diambil

Prinsipal dan agen adalah pelaku utama dalam teori agensi, mereka mempunyai nilai tawar yang sama tinggi dalam peran dan kedudukan.

 

Teori agensi fokus pada kontrak yang akan dijalani harus kontrak kerjasama yang paling efisien.

 

Sebenarnya, masalah keagenan dan biaya biaya yang muncul pada teori keagenan bisa ditekan sedemikian rupa mulai dari pertama kali hendak melakukan kontrak antara pemegang saham dan manajemen.

 

Kontrak kerjasama harus disusun dengan jelas. Siapa yang pantas menjadi apa, siap yang pantas menduduki jabatan fungsional apa dalam perusahaan nantinya. Berapa selayaknya imbal jasa yang diberikan beserta insentif dan punishmentnya.

 

Fit and proper test mungkin perlu dilakukan dalam menyeleksi calon agen agar terpilih calon yang memang yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada.

 

Kontrak hubungan kerja yang optimal adalah kontrak kerja yang fairnes. Seimbang diantara keduanya. Semakin besar tugas yang diberikan, semakin sulit masalah yang akan dihadapi, maka semakin besar pula imbalan jasanya.

 

Teori agensi atau teori keagenan pada dasarnya hanya menyangkut hal hal seperti dibawah ini:

  1. Kontrol pemegang saham terhadap manajemen
  2. Biaya yang menyertai hubungan keagenan
  3. Meminimalkan dan menghindari biaya agensi

 

PENGERTIAN STRUKTUR KEPEMILIKAN

Struktur kepemilikan atau insiders ownership adalah komposisi, porsi, perbandingan atau persentase antara modal, ekuitas termasuk saham yang dimiliki oleh orang di dalam perusahaan (insider shareholders) dan investor (outsite shareholders).

Struktur kepemilikan dapat berupa investor individual, pemerintah, dan institusi swasta. Struktur kepemilikan terbagi dalam beberapa kategori. Secara spesifik kategori struktur kepemilikan meliputi kepemilikan oleh institusi domestik, institusi asing, pemerintah, karyawan dan individual domestik.

Struktur kepemilikan merupakan bentuk komitmen dari pemegang saham untuk mendelegasikan pengendalian dengan tingkat tertentu kepada para manajer. Pemilik perusahaan akan menunjuk agen-agen profesional yang telah terlebih dahulu dipilih melalui seleksi yang kemudian akan melaksanakan tugasnya untuk mengelola perusahaan yang pada akhirnya dituntut untuk dapat memaksimalkan nilai perusahaan.

Berikut definisi dan pengertian struktur kepemilikan dari beberapa sumber buku:

  • Menurut Haryono (2005), struktur kepemilikan adalah komposisi modal antara hutang dan ekuitas termasuk juga proporsi antara kepemilikan saham insider shareholders dan outsite shareholders. 
  • Menurut Rozeff (1992), struktur kepemilikan adalah porsi atau persentase dari saham perusahaan yang dimiliki oleh orang dalam perusahaan atau manajemen terhadap total saham yang dikeluarkan oleh perusahaan. 
  • Menurut Sugiarto (2009), struktur kepemilikan adalah perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (insider) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor. 
  • Menurut Sudana (2011), struktur kepemilikan merupakan pemisahan antara pemilik perusahaan dan manajer perusahaan. Pemilik atau pemegang saham adalah pihak yang menyertakan modal kedalam perusahaan, sedangkan manajer adalah pihak yang ditunjuk pemilik dan diberi kewenangan mengambil keputusan dalam mengelola perusahaan, dengan harapan manajer bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik.

Kepemilikan Institusional 

Menurut Nabela (2012), kepemilikan institusional adalah proporsi saham yang dimiliki institusi pada akhir tahun yang diukur dengan persentase. Variabel kepemilikan institusional diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki institusi lain di luar perusahaan minimal 10% terhadap total saham perusahaan.

Menurut Wahyudi dan Pawestri (2006), kepemilikan institusional adalah proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemilik institusi dan blockholders pada akhir tahun. Institusi adalah perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi, maupun lembaga lain yang bentuknya seperti perusahaan. Sedangkan yang dimaksud blockholders adalah kepemilikan individu atas nama perorangan diatas 5% yang tidak termasuk dalam kepemilikan manajerial. Pemegang saham blockholders dimasukkan dalam kepemilikan institusional karena pemegang saham blockholders dengan kepemilikan saham di atas 5% memiliki tingkat keaktifan lebih tinggi dibandingkan pemegang saham institusional dengan kepemilikan saham di bawah 5%.

Menurut Bernandhi (2013), kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham suatu perusahaan oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lainnya. kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer.

Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku manajer yang mementingkan kepentingannya sendiri yang pada akhirnya akan merugikan pemilik perusahaan. Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.

Kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan indikator jumlah presentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak institusi dari seluruh jumlah modal saham yang beredar. Menurut Riduwan dan Sari (2013), pengukuran kepemilikan institusional dirumuskan:


Keberadaan kepemilikan institusional dapat menunjukkan mekanisme corporate governance yang kuat yang dapat digunakan untuk memonitor manajemen perusahaan. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan para pemegang saham. Berikut adalah kelebihan-kelebihan kepemilikan institusional (Permanasari, 2010):

  1. Memiliki sumber daya yang lebih daripada investor individual untuk mendapatkan informasi.
  2. Memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi, sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi.
  3. Secara umum memiliki relasi bisnis yang lebih kuat dengan manajemen. 
  4. Memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. 
  5. Lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat harga.

Kepemilikan Manajerial

Menurut Bernandhi (2013), kepemilikan manajerial adalah tingkat kepemilikan saham oleh pihak
manajemen yang secara aktif terlibat di dalam pengambilan keputusan. Pengukurannya dilihat dari besarnya proporsi saham yang dimiliki manajemen pada akhir tahun yang disajikan dalam bentuk persentase. Kepemilikan manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer yang menanggung risoko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah.

Menurut Efendi (2013), kepemilikan manajerial adalah persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi, manajer dan dewan komisaris. Pemisahan kepemilikan saham dan pengawasan perusahaan akan menimbulkan benturan kepentingan antara pemegang saham dan pihak manajemen. Benturan kepentingan antara pemegang saham dan pihak menajemen akan meningkat seiring dengan keinginan pihak manajemen untuk meningkatkan kemakmuran pada diri mereka sendiri.

Kepemilikan manajerial memberikan kesempatan manajer terlibat dalam kepemilikan saham sehingga dengan keterlibatan ini kedudukan manajer sejajar dengan pemegang saham. Manajer diperlakukan bukan semata sebagai pihak eksternal yang digaji untuk kepentingan perusahaan tetapi diperlakukan sebagai pemegang saham. Sehingga diharapkan adanya keterlibatan manajer pada kepemilikan saham dapat efektif untuk meningkatkan kinerja manajer.

Kepemilikan Manajerial adalah tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan. Tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, diukur oleh proporsi saham yang dimiliki manajer pada akhir tahun yang dinyatakan dalam persentase. Menurut Riduwan dan Sari (2013), pengukuran kepemilikan manajerial dirumuskan:

Kepemilikkan manajerial merupakan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawannya. Secara matematis, nilai kepemilikan manajerial diperoleh dari presentasi saham perusahaan yang dimiliki oleh direksi dan komisaris. Kepemilikan pemegang saham oleh manajer, diharapkan akan bertindak sesuai dengan keinginan para principal karena manajer akan termotivasi untuk menikatakan kinerja. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.

Adanya kepemilikan manajerial dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajerial yang meningkat. Apabila kepemilikan saham oleh manajerial rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang akan meningkat juga. Dengan adanya kepemilikan manajerial terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham lainnya sehingga permasalahan antara agen dan prinsipal diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham.

Kepemilikan Publik 

Menurut Wijayanti (2009), kepemilikan publik adalah proporsi atau jumlah kepemilikan saham yang dimiliki oleh publik atau masyarakat umum yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan. Kepemilikan publik merupakan persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak luar (outsider ownership). Tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan maka di perlukan pendanaan yang diperoleh baik melalui pendanaan internal maupun pendanaan eksternal. Sumber pendanaan eksternal diperoleh dari saham masyarakat (publik).

Perusahaan yang dimiliki oleh publik cenderung lebih ketat dalam pengawasan operasional perusahaannya. Hal ini dikarenakan investor luar menuntut kerja keras agar investasi yang mereka lakukan dapat memberikan pengembalian yang besar pula. Pemilik publik mungkin memiliki informasi yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan internal perusahaannya. Hal ini dapat mendorong para manajer untuk dapat lebih mementingkan kepentingan para pemegang sahamnya.