Search for Knowledge
“A mistake is a signal that it is time to learn something new, something you didn’t know before.”

Teori Liberalisasi Perdagangan dan Liberalisasi Perdagangan Dalam Praktek

 Liberalisasi Perdagangan

Liberalisasi perdagangan adalah kebijakan mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan perdagangan (tarif maupun non tarif) dalam  rangka meningkatkan kelancaran arus barang dan jasa.

Dasar Liberalisasi Perdagangan à Kerangka Paradigma Neoklasik yg dianjurkan untuk melawan restriksi perdagangan.

Alasan yg digunakan :

1.    Liberalisasi Perdagangan diharapkan mampu mendorong berlangsungnya proses rasionalisasi industri bersamaan dgn proses alokasi manajemen ekonomi yg optimal à menghindari X-inefficiancy

2.    Menghindari atau meminumkan ketidakstabilan ekonomi makro.  Kebijakan proteksi yg disertai oleh adanya kurs mata uang yg tidak realistis (over valued currency) yg mengakibatkan foreign exchange bottlenecks

3.    Mendorong berlangsungnya proses produksi dalam skala penuh dgn perluasan produksi untuk ekspor.

Perekonomian dunia mengalami proses liberalisasi perdagangan ditandai dengan mulai terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang perannya sekarang telah digantikan oleh World Trade Organisation (WTO). Tujuan liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Karena  Menurut Baier dan Bergstand, perdagangan dunia dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pertumbuhan pendapatan (income), penurunan hambatan perdagangan dan semakin murahnya biaya transportasi (Coughlin, 2003).

 

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)

Perjanjian umum tentang tarif-tarif dan perdagangan didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Pada waktu didirikan, GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara. Kesepakatan dalam GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang dalam tiga prinsip, yaitu:

v  Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.

v  Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu.

v  Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.

 

 

Misi GATT

Sebagai lembaga yang selalu mengupayakan terciptanya Pasar Bebas. Dengan senantiasa mengedepankan konsep Keunggulan Komparatif atau memaksimalkan potensi  (David Ricardo-1772/1823).

Keunggulan Komparatif: Negara menjadi makmur melalui konsentrasi terhadap produk apa  yang bisa diproduksi oleh negara dengan sebaik-baiknya.

 

Tujuan GATT

1.         Meningkatkan  Taraf  Hidup Umat Manusia

2.         Meningkatkan Kesempatan Kerja

3.         Meningkatkan Pemanfaatan Kekayaan Alam Dunia, Dan

4.         Meningkatkan Produksi Dan Tukar Menukar Barang.

 

Prinsip-prinsip GATT

Most Favoured Nation

Suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif.  Semua negara terikat untuk memberikan negara2 lainnya perlakuan yang sama dlm pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta biaya lainnya.

 

Nasional Treatment

Produk dari suatu negara anggota yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.

 

Larangan Restriksi Kuantitatif

Larangan RK terhadap ekspor atau impor  dalam apapun (misalnya penetapan kuota exim, restriksi penggunaan lisensi exim).

Perlindungan Melalui Tarif

Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikan tarif bea masuk)

 

Resipositas

Perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.

 

Putaran Uruguay

Putaran Uruguay adalah babak 8 negosiasi perdagangan multilateral (MTN) dilakukan dalam kerangka Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT), mulai 1986-1994 dan merangkul 123 negara sebagai “pihak kontraktor”. Putaran Uruguay mengubah GATT ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

 

Putaran Perdagangan Dalam GATT/WTO



World Trade Organization (WTO)

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.

 

Persetujuan Bidang Pertanian

 Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 bertujuan untuk  melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif.

 Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.

 Dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mengacu pada sistem klasifikasi HS (harmonized system of product classification), produk-produk pertanian didefinisikan sebagai komoditi dasar pertanian (seperti beras, gandum, dll.) dan produk-produk olahannya (seperti roti, mentega, dll.) Sedangkan, ikan dan produk hasil hutan serta seluruh produk olahannya tidak tercakup dalam definisi produk pertanian tersebut.

 

Persetujuan Bidang Pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, para anggota WTO berkomitmen untuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi subsidi-subsidi yang mendistorsi perdagangan melalui skedul komitmen masing-masing negara. Komitmen tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari GATT.

 

3 Pilar Perjanjian Pertanian WTO

A. Akses Pasar

Dilihat dari sisi akses pasar, Putaran Uruguay telah menghasilkan perubahan sistemik yang sangat signifikan: perubahan dari situasi dimana sebelumnya ketentuan-ketentuan non-tarif yang menghambat arus perdagangan produk pertanian menjadi suatu rezim proteksi pasar berdasarkan pengikatan tarif beserta komitmen-komitmen pengurangan subsidinya. Aspek utama dari perubahan yang fundamental ini adalah stimulasi terhadap investasi, produksi dan perdagangan produk pertanian melalui:

(i)                akses pasar produk pertanian yang transparan, prediktabel dan kompetitif,

(ii)              peningkatan hubungan antara pasar produk pertanian nasional dengan pasar internasional, dan

(iii)            penekanan pada mekanisme pasar yang mengarahkan penggunaan yang paling produktif terhadap sumber daya yang terbatas, baik di sektor pertanian maupun perekonomian secara luas.

   Negara anggota dari kelompok negara maju sepakat untuk mengurangi tarif mereka sebesar rata-rata 36% pada seluruh produk pertanian, dengan pengurangan minimum 15% untuk setiap produk, dalam periode enam tahun sejak tahun 1995. Bagi negara berkembang, pengurangannya adalah 24% dan minimum 10% untuk setiap produk. Negara terbelakang diminta untuk mengikat seluruh tarif pertaniannya namun tidak diharuskan untuk melakukan pengurangan tarif. 

 

 

B. Subsidi Domestik

Subsidi domestik dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah subsidi domestik yang tidak terpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan (sering disebut sebagai Green Box) sehingga tidak perlu dikurangi. Kategori kedua adalah subsidi domestik yang mendistorsi perdagangan (sering disebut sebagai Amber Box) sehingga harus dikurangi sesuai komitmen.

 Subsidi Domestik dalam sektor Pertanian:

1.       Amber Box, adalah semua subsidi domestik yang dianggap mendistorsi produksi dan perdagangan;

2.       Blue Box, adalah amber box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk mengurangi distorsi. Subsidi yang biasanya dikategorikan sebagai Amber Box akan dimasukkan ke dalam Blue Box jika subsidi tersebut juga menuntut dikuranginya produksi oleh para petani; dan

3.       Green Box, adalah subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan. Subsidi tersebut harus dibiayai dari anggaran pemerintah (tidak dengan membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi) dan harus tidak melibatkan subsidi terhadap harga.

 Berkaitan dengan kebijakan yang diatur dalam Green Box terdapat tiga jenis subsidi lainnya yang dikecualikan dari komitmen penurunan subsidi yaitu kebijakan pembangunan tertentu di negara berkembang, pembayaran langsung pada program pembatasan produksi (blue box), dan tingkat subsidi yang disebut de minimis.

 

 

C. Subsidi Ekspor

 

Hak untuk memberlakukan subsidi ekspor pada saat ini dibatasi pada: (i) subsidi untuk produk-produk tertentu yang masuk dalam komitmen untuk dikurangi dan masih dalam batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tersebut; (ii) kelebihan pengeluaran anggaran untuk subsidi ekspor ataupun volume ekspor yang telah disubsidi yang melebihi batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tetapi diatur oleh ketentuan ”fleksibilitas hilir” (downstream flexibility); (iii) subsidi ekspor yang sesuai dengan ketentuan S&D bagi negara-negara berkembang; dan (iv) Subsidi ekspor di luar skedul komitmen tetapi masih sesuai dengan ketentuan anti-circumvention. Segala jenis subsidi ekspor di luar hal-hal di atas adalah dilarang.

 

LIBERALISASI PERDAGANGAN DALAM PRAKTEK

Dalam praktek proses liberalisasi per- dagangan dapat dilakukan melalui berbagai skenario. Selain proses liberalisasi unilateral, ratifikasi kerjasama perdagangan internasional melalui pembentukan kelembagaan seperti: APEC, AFTA dan WTO merupakan pilihan skenario liberalisasi bagi negara pelaku perda- gangan, termasuk Indonesia. Akan tetapi, oleh karena memiliki sasaran dan mekanisme im- plementasi yang berbeda-beda maka masing- masing skenario proses liberalisasi tersebut akan menghasilkan dampak berbeda pula.

Hasil studi perbandingan perkiraan perolehan manfaat antar skenario proses liberalisasi perdagangan Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003) menyebutkan, implemen- tasi komitmen liberalisasi melalui PU (WTO) yang disertai kebijakan liberalisasi unilateral secara internal akan lebih menguntungkan bagi Indonesia dibandingkan dengan imple- mentasi PU secara tunggal. Sementara pem- bentukan AFTA diperkirakan hanya akan memberikan tambahan manfaat relatif kecil bagi Indonesia ataupun negara anggota ASEAN karena wilayah dan pasar ASEAN relatif kecil. Di samping itu, perdagangan negara anggota ASEAN lebih banyak dilaku- kan dengan negara non-ASEAN. Padahal kesepakatan penurunan tarif berlaku hanya bagi negara-negara anggota ASEAN. Akibat- nya kesepakatan penurunan tarif melalui AFTA tidak efektif.

Sisi Positif dan Negatif Liberalisasi

Menurut Indrawati (1995), PU merupa- kan persetujuan yang paling ambisius diban- dingkan putaran-putaran GATT sebelumnya karena bertujuan mengontrol proliferasi segala bentuk proteksionisme baru untuk menuju pada kecenderungan liberalisasi perdagangan antarnegara, termasuk aturan internasional dalam bidang Hak Properti Intelektual, dan memperbaiki mekanisme penyelesaian perse- lisihan dengan menerapkan keputusan dan mematuhi aturan-aturan GATT. PU diperkira- kan akan meningkatkan perdagangan sehing- ga mencapai US $ 5 triliun pada tahun 2005 atau kenaikan ekstra perdagangan 12 persen. Disebutkan pula bahwa dampak liberalisasi perdagangan dunia terhadap negara berkem- bang terutama akan menyangkut produk yang sangat vital, yaitu sektor pertanian serta komoditas tekstil dan produk tekstil, dimana tarif produk pertanian akan diturunkan sebesar

24 persen di negara berkembang dan 36 persen di negara maju. Sedangkan tarif tekstil akan dipangkas sebesar 25 persen.

Proteksi yang dilakukan negara maju terhadap sektor pertanian melalui kebijaksa- naan harga (price support), bantuan langsung (direct payment), dan bantuan  pasokan (supply management program) telah menye- babkan distorsi perdagangan hasil pertanian dunia. Distorsi terjadi seiring dengan mening- katnya hasil produksi pertanian dari negara- negara maju yang mengakibatkan penurunan harga dunia untuk produk pertanian. Meskipun harga produk pertanian yang rendah menolong negara pengimpor tetapi faktor rendahnya harga produk pertanian tersebut juga akan memukul negara-negara berstatus produsen netto.

Secara umum menurut Indrawati (1995), liberalisasi akan menguntungkan bagi negara berkembang dan penduduk miskin dari kelompok pendapatan menengah karena ekspor produk yang bersifat padat karya akan meningkat (terutama produk manufaktur). Namun demikian, derajat manfaat dan keun- tungan liberalisasi perdagangan sangat ter- gantung pada reformasi kebijaksanaan yang diambil dan keadaan struktur perekonomian domestik negara berkembang itu sendiri.

Pada studi keterkaitan liberalisasi de- ngan aspek lingkungan Abimanyu (1995) berpendapat, bahwa dalam liberalisasi perdagangan masing-masing negara sebenarnya dibolehkan menerapkan kebijaksanaan sub- sidi, pajak, dan peraturan pemerintah lainnya selama tidak membedakan antara perusahaan domestik dan asing, sebagaimana klausul dalam aturan GATT. Adanya peluang tersebut menurut Abimanyu dapat menimbulkan dam- pak positif dalam hal fairness kompetisi dan kemampuan suatu perusahaan asing untuk menyesuaikan dengan kondisi (khususnya teknologi) di negara di mana perusahaan berlokasi. Akan tetapi disisi lain, peluang tersebut juga berpotensi menimbulkan dampak negatif, yaitu masuknya teknologi dan produk “kotor” ke negara tujuan perdagangan, khu- susnya negara berkembang yang lebih rendah standar lingkungannya.

Studi tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap pertanian di Indonesia oleh Erwidodo (1999) menunjukkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, sebelum tahun 1985 Indonesia sangat mengutamakan kebijakan proteksi pasar domestik. Kebijakan ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh sebagian besar penerima proteksi tersebut. Dalam rangka mendorong reformasi menuju perdagangan bebas yang digulirkan sejak awal 1980-an pemerintah memperkenalkan bebe- rapa kebijakan berikut (1) penyederhanaan prosedur kepabeanan termasuk dikeluarkan- nya undang-undang kepabeanan yang baru,

(2)   menurunkan tarif dan pungutan-pungutan,

(3)   mengurangi lisensi impor dan hambatan nontarif, (4) deregulasi dari sistem distribusi,

(5) deregulasi regim investasi, dan (6) memantapkan batas wilayah dan prosedur ekspor. Salah satu sektor yang mendapat proteksi cukup tinggi adalah sektor makanan dan minuman (food and beverage).

Kedua, Jepang, USA dan Singapore merupakan tiga negara sumber utama impor Indonesia. Di sisi lain, total ekspor Indonesia ke ketiga negara tersebut juga dominan.  Tahun 1985-1996 ekspor pertanian Indonesia tumbuh dengan laju 10,6 persen per tahun, pada waktu yang sama laju pertumbuhan impor pertanian tumbuh sebesar 15,0 persen per tahun. Dengan demikian surplus perdaga- ngan komoditas pertanian Indonesia cende- rung menurun dari waktu ke waktu.

Ketiga, liberalisasi perdagangan mela- lui PU secara potensial akan memperluas akses pasar untuk Indonesia khususnya ke negara industri. Penurunan tarif pada berbagai pasar ekspor utama akan memperluas akses pasar Indonesia. Hambatan tarif global produk industri ke Indonesia akan diturunkan sekitar 42 persen, tarif di negara-negara industri akan turun rata-rata empat persen. Di Jepang rata- rata tarif turun 4,4 persen (di luar minyak), Uni Eropa turun sekitar 6,0 persen dan USA turun sekitar 6,5 persen.

Keempat, beberapa produk ekspor utama Indonesia akan mengalami pemotongan tarif cukup besar di pasar ekspor utama. Penurunan tarif terbesar dikenakan pada komoditas kayu, pulp, kertas dan furniture sebesar 69 persen; produk mineral dan logam utama sebesar 59 persen; biji berminyak dan lemak sebesar 40 persen; serta kopi, teh, kakao dan gula sebesar 34 persen. Perolehan ekspor dari berbagai komoditas tersebut meningkat dari 21 persen menjadi 50 persen dari total nilai ekspor. Penurunan tarif sub- stantif juga akan dikenakan pada komoditas tertentu seperti buah-buahan dan sayuran (36

%), bumbu-bumbu (35 %), biji-bijian (39 %) dan produk pertanian lainnya (48 %).

Kelima, kesepakatan PU diperkirakan akan meningkatkan pendapatan dunia secara signifikan dan terdistribusi secara luas diantara negara maju dan negara berkembang. PU akan berdampak positif terhadap upah riil terutama di negara berkembang. Sejalan dengan hal itu PU diharapkan berdampak po- sitif terhadap perekonomian Indonesia. Dalam hal ini Indonesia akan memperoleh manfaat baik dari perdagangan maupun pendapatan. Hasil studi juga menunjukkan indikasi, adanya deregulasi perdagangan dengan partner da- gang Indonesia mengakibatkan tidak hanya kehilangan daya saing ekspor tetapi juga kemungkinan penurunan kesejahteraan ma- syarakat.

Keenam, seberapa besar Indonesia akan memperoleh manfaat diterapkannya liberalisasi perdagangan melalui kesepakatan PU tergantung tidak hanya pada penurunan hambatan perdagangan di pasar partner dagang Indonesia tetapi juga upaya dalam membuka pasar Indonesia sendiri. Hasil simu- lasi menunjukkan bahwa nilai dan volume ekspor Indonesia masing-masing dapat me- ningkat sebesar 10,4 persen dan 12,4 persen, dan diterapkannya kesepakatan PU secara

keseluruhan diestimasi dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga dan faktor produksi masing-masing sebesar 2,0 persen dan 4,2 persen. Secara agregat diterapkannya kesepa- katan PU akan meningkatkan manfaat sosial bersih (net social benefit) sekitar $ 782 juta, nilai ini setara dengan 0,75 persen dari PDB Indonesia tahun 1992.

Studi Erwidodo dan Hadi (1999) ten- tang dampak liberalisasi perdagangan terha- dap produksi, konsumsi, perdagangan dan pemasaran beberapa komoditas  terpilih (beras, kedelai, jagung, ubikayu dan kentang) di Indonesia menunjukkan bahwa di tingkat makro, pada kondisi sebelum krisis ekonomi, liberalisasi perdagangan antar negara melalui penurunan tarif untuk komoditas substitusi impor akan menurunkan harga di tingkat pedagang besar, harga produsen, kuantitas suplai dan surplus produsen. Namun liberali- sasi perdagangan tersebut berdampak me- ningkatkan kuantitas permintaan, impor dan surplus konsumen. Dampak secara keselu- ruhan akan meningkatkan net surplus atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat, teta- pi besarnya perubahan-perubahan tersebut sangat tergantung pada elastisitas transmisi dari tarif pada harga di tingkat pedagang besar, elastisitas transmisi dari harga di pedagang besar pada harga produsen, dan elastisitas harga penawaran dan permintaan. Elastisitas transmisi tarif yang lebih tinggi akan berdampak negatif besar pada surplus produ- sen tetapi juga berdampak positif besar pada surplus konsumen dan secara total berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Di tingkat usahatani studi tersebut menunjukkan, penurunan tarif akan menurun- kan harga di tingkat produsen. Melalui efek harga sendiri dan harga silang, penurunan harga produsen akan menurunkan pengguna- an input seperti pupuk dan tenaga kerja yang akan menurunkan produktivitas dan peneri- maan bersih usahatani. Seperti terefleksikan pada elastisitas transmisi harga, besarnya dampak pada tingkat usahatani akan tergan- tung pada sistem pemasaran masing-masing komoditas. Makin efisien sistem pemasaran makin besar elastisitas transmisi harga.

Amang dan Sawit (1997) mengingat- kan bahwa dampak perdagangan bebas cukup serius buat Indonesia, tidak hanya menyang- kut bidang ekonomi tetapi juga bidang non- ekonomi. Perpindahan faktor produksi seperti tenaga kerja, lahan, kapital secara cepat dan berlebihan dalam waktu yang relatif singkat dari sektor pertanian dan jasa ke sektor manufaktur, akan menimbulkan masalah baru yang lebih sulit dan mahal untuk mengatasi- nya. Hampir tidak mungkin dibangun infra- struktur perkotaan yang cukup untuk menam- pung pesatnya urbanisasi, sehingga akan muncul masalah kekumuhan dan kemiskinan di kota, kepadatan kota, kekurangan tempat tinggal, tidak cukupnya taman, kekurangan air bersih (kualitas dan kuantitasnya), memburuk- nya lingkungan hidup dan meningkatnya krimi- nalitas. Di samping itu distribusi pendapatan masyarakat akan semakin timpang. Oleh karena itu model-model peramalan untuk mempelajari pengaruh perdagangan bebas terhadap kesejahteraan masyarakat tidak cukup hanya melihat dampak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan ekspor, tetapi juga perlu memperhatikan beberapa aspek nonekonomi seperti diuraikan di atas.

Dari studi dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan terhadap pena- waran dan permintaan beras di Indonesia 1971-2000, Sitepu (2002) menunjukkan bahwa areal sawah telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas maksimum lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat meningkatnya kompetisi peng- gunaan lahan. Sementara produktivitas padi telah mengalami pelandaian produksi (levelling off), sebagai akibat penggunaan pupuk yang tidak berimbang sehingga respon produksi terhadap harganya menjadi inelastis.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Sitepu (2002), kebijakan harga dasar gabah akan menyebabkan net surplus bertambah, sedang- kan kebijakan penghapusan subsidi harga input berdampak pada penurunan produksi dan pendapatan petani. Namun demikian total net surplus akan mengalami peningkatan. Pemberlakuan liberalisasi  perdagangan (dalam hal ini melalui penghapusan peran Bulog dalam pengadaan dan penyaluran gabah/beras serta penghapusan tarif) tidak efisien dan tidak tepat untuk dilaksanakan karena keuntungan yang diterima oleh konsu- men lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang diterima oleh produsen, sehingga total net surplus berkurang. Alternatif kebijakan ini merugikan petani kecil yang umumnya miskin dan akan memperburuk distribusi pendapatan.

Indikasi dampak negatif dari liberali- sasi terhadap petani (pertanian) juga terjadi di negara maju seperti Jepang. Studi Kamiya (2002) menyebutkan, liberalisasi menyebab- kan harga komoditas pertanian di pasar domestik Jepang yang semula sangat tinggi karena diproteksi menjadi terus menurun. Penurunan harga tersebut mengakibatkan pengusahaan komoditas pertanian menjadi tidak menguntungkan. Akibat selanjutnya, ba- nyak areal pertanian yang dibiarkan tidak tergarap di samping semakin sedikit petani yang bersedia mengusahakan.