Robert T. Craig membagi dunia komunikasi dalam 7 tradisi pemikiran. Tujuh tradisi pemikiran dalam dunia komunikasi ini dikenal sebagai model Robert T. Craig, yang dipuji banyak pihak karena mampu menawarkan cara melihat dan merefleksikan kajian komunikasi dalam cara yang lebih holistik. Metamodel (model dari model-model) yang dikembangkan oleh Craig ini memberikan bentuk yang sesuai dan dapat membantu mendefenisikan permasalahan-permasalahan dan pembahasan tentang asumsi yang menentukan pendekatan-pendekatan terhadap berbagai teori. Kita harus jujur mengakui, metamodel yang dikembangkan Craig memberikan sistem andal untuk menyusun teori-teori komunikasi terbarui.
Secara garis besar, Craig membagi dunia komunikasi dalam 7 tradisi pemikiran yaitu: semiotik, fenomenologis, sibernetika, sosiopsikologis, sosiokultural, kritis dan retoris. Adapun berbagai tradisi teori komunikasi tersebut secara lebih detail dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, Tradisi Semiotik
Konsep dasar pertama yang menyatukan tradisi ini adalah tanda yang diidentifikasikan sebagai stimulus yang menandakan atau menunjukkan beberapa kondisi lain, seperti ketika asap menandakan adanya api. Konsep dasar kedua adalah simbol yang menandakan tanda yang kompleks dengan banyak arti, termasuk arti yang sangat khusus.
Sejumlah ahli komunikasi memberikan perbedaan kuat antara tanda dan simbol. Perbedaannya yakni, tanda memiliki referensi yang jelas terhadap sesuatu, sedangkan simbol tidak berlaku demikian. Sedangkan para ahli komunikasi lain melihatnya sebagai tingkat-tingkat istilah yang berbeda dalam kategori yang sama. Dengan perhatian pada tanda dan simbol semiotik menyatukan kumpulan teori-teori yang sangat luas yang berkaitan dengan bahasa, wacana dan tindakan-tindakan nonverbal.
Tradisi semiotik terkonstruksi dari 3 wilayah kajian yaitu: semantik, sintaktik dan pragmatik. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
Semantik, berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjukkannya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Di mana semantik mengilustrasikan dua dunia sekaligus, yakni dunia benda dan dunia tanda serta mencerahkan hubungan antara dua dunia tersebut. Kapanpun kita memberikan sebuah pernyataan, apa yang direpresentasikan oleh tanda, maka kita berada dalam ranah semantik. Contoh sederhana, kamus merupakan buku referensi semantik yang mengatakan apakah arti kata atau apa yang mereka representasikan. Sebagai prinsip dasar semantik, representasi selalu dimediasi oleh interpretasi sadar seseorang dan interpretasi atau arti apa pun bagi sebuah tanda akan mengubah satu situasi ke situasi lainnya.
Sintaktik, kajian hubungan di antara tanda-tanda. Tanda-tanda sebetulnya, tidak pernah berdiri sendiri. Hampir semuanya selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam cara-cara tertentu. Karenanya, sintaktik selalu mengacu pada aturan-aturan yang dengannya orang mengombinasikan tanda-tanda dalam sistem makna yang kompleks. Semiotik tetap mengacu pada prinsip bahwa tanda-tanda selalu dipahami dalam kaitannya dengan tanda-tanda lain. Tentunya, kamus bukan sekadar katalog hubungan antara satu tanda dengan tanda lainnya (satu kata didefinisikan dengan kata-kata lain).
Ketika kita bergerak dari satu kata menuju sebuah kalimat, kita berhubungan dengan sintaksis atau struktur bahasa. Isyarat-isyarat selalu dikombinasikan dengan isyarat-isyarat lainnya untuk membentuk sistem kompleks tanda-tanda nonverbal dan tanda-tanda nonverbal dipasangkan dengan bahasa untuk mengekspresikan arti-arti yang halus dan kompleks. Peraturan sintaktik mempermudah manusia menggunakan kombinasi tanda-tanda yang tidak terbatas untuk mengekspresikan kekayaan makna.
Pragmatik, mengkaji bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial. Cabang semiotik ini memiliki pengaruh yang paling penting dalam teori komunikasi karena tanda-tanda dan sistem tanda dilihat sebagai alat komunikasi umat manusia. Karenanya, pragmatik saling melengkapi dengan tradisi sosial budaya. Dari perspektif semiotik, kita harus memiliki pemahaman bersama bukan hanya pada kata-kata, tapi juga pada struktur bahasa, masyarakat dan budaya agar komunikasi dapat mengambil perannya.
Tanda nonlinguistik menciptakan permasalahan pragmatik khusus dan nonverbal juga telah menarik minat para peneliti komunikasi. Contohnya, kode-kode visual lebih terbuka dalam makna potensialnya, interpretasinya sangat subjektif serta lebih dihubungkan dengan persepsual internal dan proses-proses pemikiran penonton daripada representasi konvensional. Hal ini mesti dikatakan bahwa makna seseorang untuk sebuah gambar benar-benar individualis, tentunya makna-makna visual dapat dipengaruhi oleh pembelajaran, budaya dan bentuk-bentuk interaksi sosial lain.
Namun melihat gambaran visual tidaklah sama dengan memahami bahasa. Gambar memerlukan pengenalan bentuk, organisasi, dan diskriminasi, bukan hanya hubungan-hubungan representatif. Karenanya, makna gambaran visual sangat bergantung pada persepsi serta pengetahuan individu dan sosial.
Pembagian sintaktik, semantik dan pragmatik digunakan secara luas untuk mengelola kajian semantik. Namun tidak semua orang setuju bahwa hal ini merupakan cara yang paling bermanfaat. Donald Ellis menegaskan, semantik bukanlah cabang yang terpisah, tapi lebih tampak sebagai batang yang menopang keseluruhan pohon. Baginya, makna bukan sekadar permasalahan lexical semiotics atau makna kata-kata, melainkan juga termasuk structural semantics, atau makna struktur-struktur bahasa.
Kedua, Tradisi Fenomenologis
Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Tradisi ini memperhatikan pada pengalaman sadar seseorang. Proses mengetahui dengan pengalaman langsung merupakan wilayah kajian fenomenologis. Jika semiotik cenderung memperhatikan tanda dan fungsinya, maka fenomenologis lebih melihat pada sosok penafsir sebagai komponen utama dalam proses komunikasi.
Fenomenologis merupakan cara yang digunakan umat manusia untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung. Pakar tradisi fenomenologis Maurice Merleau-Ponty, menyatakan semua pengetahuan akan dunia, bahkan pengetahuan ilmiahnya, diperoleh dari beberapa pengalaman akan dunia. Dengan begitu, fenomenologis membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah realitas. Menurut Stanley Deetz, menyimpulkan ada 3 prinsip dasar fenomenologis.
Pertama, pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya. Kedua, makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan lain kata, bagaimana Anda berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi Anda. Contoh kecil, Anda ingin mengambil kajian teori komunikasi dengan serius sebagai pengalaman di bidang pendidikan ketika Anda mengalaminya sebagai sesuatu yang akan memberikan pengaruh positif pada kehidupan Anda.
Asumsi ketiga, bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu. Kita mengetahui kunci karena bahasa yang kita hubungkan dengannya: “menutup”, “membuka”, “besi”, “berat”, dsb.
Proses interpretasi penting bagi kebanyakan pemikiran fenomenologis. Dalam bahasa Jerman, interpretasi sepadan dengan kata verstchen (pemahaman), merupakan proses menemukan makna dengan pengalaman. Dalam tradisi semiotik, interpretasi terpisah dari realitas , tetapi dalam fenomenologis, interpretasi biasanya membentuk apa yang nyata bagi seseorang. Anda tidak dapat memisahkan interpretasi dari realitas.
Interpretasi merupakan proses aktif pikiran dan tindakan kreatif dalam mengklarifikasi pengalaman pribadi. Interpretasi melibatkan maju mundur antara mengalami suatu kejadian atau situasi dan menentukan maknanya, bergerak dari yang khusus ke umum dan kembali lagi ke yang khusus. Hal ini dikenal sebagai hermeneutic circle.
Ada tiga kajian pemikiran umum yang membuat beberapa tradisi fenomenologis, yaitu: fenomenologi klasik, fenomenologi persepsi dan fenomenologi hermeneutik. Fenomenologi klasik, kebenaran dapat diyakinkan melalui kesadaran yang terfokus. Menurut Edmund Husserl yang terkenal sebagai pendiri fenomenologi modern, menyatakan kebenaran dapat diyakinkan melalaui pengalaman langsung dengan catatan kita harus disiplin dalam mengalami segala sesuatu.
Hanya melalui perhatian sadar, kebenaran dapat diketahui. Agar dapat mencapai kebenaran melalui perhatian sadar, bagaimanapun juga, kita harus mengesampingkan atau mengurungkan kebiasaan kita. Kita harus menyingkirkan kategori-kategori pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan dalam melihat segala sesuatu agar dapat mengalami sesuatu dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini, benda-benda di dunia menghadirkan dirinya pada kesadaran kita. Pendekatan Husserl dalam fenomenologis sangat objektif, dunia dapat dialami tanpa harus membawa kategori pribadi seseorang agar terpusat pada proses.
Fenomenologi persepsi, merupakan sebuah reaksi yang menentang objektivitas sempit milik Husserl di atas. Di mana pencetus teori ini adalah Maurice Merleau Ponty, menyatakan bahwa pengalaman itu subjektif, bukan objektif dan percaya bahwa subjektivitas merupakan bentuk penting sebuah pengetahuan. Baginya, manusia merupakan sosok gabungan antara fisik dan mental yang menciptakan makna di dunia ini.
Kita mengetahui sesuatu hanya melalui hubungan pribadi kita dengan benda tersebut. Sebagai manusia, kita terpengaruh oleh dunia, namun kita juga mempengaruhi dunia dengan bagaimana kita mengalaminya. Bagi Ponty, segala sesuatu tidak ada dengan sendirinya dan terpisah dari bagaimana semuanya diketahui. Manusia memberikan makna pada benda-benda di dunia, sehingga pengalaman fenomenologis apapun tentunya subjektif. Jadi, terdapat dialog antara manusia seebagai penafsir dan benda yang mereka tafsirkan.
Fenomenomenologi hermeneutik, memiliki kemiripan prinsip dengan fenomenologi persepsi, namun tradisinya lebih luas dalam bentuk penerapan yang lebih lengkap pada komunikasi. Tokohnya adalah Martin Heidegger, filosofinya yang terkenal adalah Hermeneutic of Dasein, artinya interpretasi keberadaan. Hal paling penting menurutnya adalah, pengalaman alami yang tidak terelekkan terjadi dengan hanya tinggal di dunia. Baginya, realitas sesuatu tidak diketahui dengan analisis yang cermat atau pengurangan, melainkan oleh pengalaman alami yang diciptakan oleh penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sesuatu yang nyata adalah apa yang dialami melalui penggunaan bahasa dalam konteksnya: “kata-kata dan bahasa bukanlah bungkusan yang di dalamnya segala sesuatu dimasukkan demi keuntungan bagi yang menulis dan berbicara. Tapi dalam kata dan bahasa, segala sesuatunya ada.
Tradisi fenomeomenologi ini dianggap mayoritas ahli komunikasi, sebagai sesuatu yang naif. Sebab, kehidupan dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang kompleks dan saling berhubungan, hanya beberapa di antaranya saja yang dapat diketahui dengan sadar pada waktu tertentu. Kita tidak dapat menginterpretasikan sesuatu dengan sadar hanya dengan melihat dan memikirkannya. Pemahaman yang sesungguhnya datang dari analisis yang cermat terhadap sistem efek.
Ketiga, Tradisi Sibernetika
Merupakan tradisi sistem-sistem kompleks yang di dalamnya banyak orang saling berinteraksi, memengaruhi satu sama lainnya. Perspektif sibernetika dibutuhkan dalam memahami kedalaman dan kompleksitas dinamika dalam berkomunikasi, misalkan memahami pola hubungan berinteraksi dalam sebuah keluarga.
Dalam teori sibernetika menjelaskan bagaimana proses fisik, biologis, sosial dan perilaku bekerja. Dalam sibernetika, komunikasi dipahami sebagai sistem bagian-bagian atau variabel-variabel yang saling memengaruhi satu sama lainnya, membentuk, serta mengontrol karakter keseluruhan sistem dan layaknya organisme, menerima keseimbangan dan perubahan.
Ide sistem inilah yang membentuk inti pemikiran Sibernetika. Sistem merupakan seperangkat komponen-komponen yang saling berinteraksi, yang bersama membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar sejumlah bagian-bagian. Bagian apapun dari sebuah sistem selalu dipaksa oleh ketergantungan bagian-bagian lainnya dan bentuk saling ketergantungan inilah yang mengatur sistem itu sendiri. Namun sistem tidak akan bertahan taanpa mendatangkan asupan-asupan baru dalam bentuk input. Karenanya, sebuah sistem mendapatkan input dari lingkungan, memproses dan menciptakan timbal balik berupa hasil kepada lingkungan. Input dan output terkadang berupa materi-materi nyata atau berupa energi dan informasi. Karena sifat ketergatungan inilah yang kemudian sistem memiliki ciri khas berupa regulasi, diri dan kontrol. Dengan lain kata, monitor sistem, mengatur dan mengontrol keluaran mereka agar stabil serta mencapai tujuan.
Termostat (alat pengukur/pengimbang panas) dan alat pemanas (heater) merupakan contoh sederhana kontrol sistem. Dalam sistem yang kompleks, sejumlah putaran timbal balik menghubungkan semua bagian. Putaran timbal balik ini disebut network (jaringan). Konsekuensi logisnya, ada hubungan positif dan negatif. Dalam hubungan positif, variabel-variabel meningkat dan menurun secara bersamaan.
Sedang dalam hubungan negatif, variabel-variabel berbanding terbalik, sehingga jika satu meningkat, lainnnya akan menurun. Ide-ide pokok teori sistem, sungguh sangat berkaitan dan konsisten. Semuanya memiliki pengaruh utama pada banyak hal, termasuk komunikasi. Luasnya penerapan sistem dalam lingkungan nyata, fisik, dan sosial sehingga tradisi sibernetika tidaklah monolitik. Inilah yang kemudian membuat perbedaan di antara 4 variasi teori sistem, yaitu: teori sistem dasar (basic system theory), sibernetika (cybernetics), teori sistem umum (general system theory) dan sibernetika tingkat kedua (second order cybernetics).
Teori sistem dasar, menggambarkan sistem-sistem sebagai bentuk-bentuk nyata yang dapat dianalisis dan diobservasi dari luar. Kita dapat melihat bagian-bagian dari sistem dan bagaimana semuanya berinteraksi. Kita dapat mengobservasi dan dengan objektif mengukur kekuatan-kekuatan di antara semua bagian dari sistem dan Anda dapat mendeteksi input dan output sebuah sistem. Jelasnya, kita dapat mengoperasikan atau memanipulasi sistem dengan mengubah input sistem tersebut dan mengerjakannya dengan sembarangan dengan mekanisme pemrosesannya.
Sibernetika sebagai wilayah kajian, merupakan cabang dari teori sistem yang memfokuskan diri pada putaran timbal balik dan proses-proses kontrol. Konsep ini mengarahkan pada pertanyaan bagaimana sesuatu saling memengaruhi satu sama lainnya dalam cara yang tidak berujung, bagaimana sistem mempertahankan kontrol, bagaimana mendapatkan keseimbangan, serta bagaimana putaran timbal-balik dapat mempertahankan keseimbangan dan membuat perubahan. Keunggulan teori tradisi sibernetika sangat cocok untuk memahami sebuah hubungan, namun kurang efektif dalam memahami perbedaan-perbedaan individu di antara bagian sistem.
Keempat, Tradisi Sosiopsikologis
Kajian individu sebagai makhluk sosial merupakan tujuan dari tradisi sosiopsikologis (sociopsychological). Teori tradisi sosiopsikologis memiliki fokus kajian pada perilaku sosial individu, variabel psikologis, efek individu, kepribadian dan sifat, persepsi serta kognisis. Pendekatan individualis menjadi cirikhas tradisi sosiopsikologis, merupakan hal umum dalam pembahasan komunikasi serta lebih luas dalam ilmu pengetahuan sosial dan perilaku.
Hal ini dapat dipahami dalam lingkungan budaya kita. Dewasa ini mayoritas teori komunikasi sosiopsikologis lebih berorientasi pada sisi kognitif, yakni memberikan pemahaman bagaimana manusia memproses informasi. Dalam area ini, tradisi sibernetika dan tradisi sosiopsikologis bersama-sama menjelaskan sistem pemrosesan informasi individu manusia. Input (informasi) merupakan bagian dari perhatian khusus, sedangkan output (rencana dan perilaku) merupakan bagian dari sistem kognitif.
Pertanyaan-pertanyaan penting dalam penelitian area ini, termasuk bagaimana persepsi dipresentasikan secara kognitif, serta bagaimana representasinya diproses melalui mekanisme yang memberikan perhatian, ingatan, campur tangan, seleksi, motivasi, perencanaan dan pengorganisasian. Beberapa tema besar yang berbeda dalam tradisi sosiopsikologis adalah, bagaimana perilaku komunikasi individu dapat diprediksi, bagaimana individu diperhitungkan dan mengakomodasi situasi-situasi komunikasi yang berbeda, bagaimana perilaku komunikasi mengadaptasi perilaku mereka, bagaimana informasi diasimilasi, diatur serta digunakan dalam menyusun rencana-rencana dan strategi pesan, dengan logika apa manusia membuat keputusan tentang bentuk pesan yang hendak digunakan, bagaimana pesan direpresentasikan dalam pikiran, bagaimana manusia menghubungkan penyebab-penyebab perilaku, bagaimana informasi diintegrasikan untuk membentuk sikap dan kepercayaan, bagaimana sikap berubah, bagaimana pesan-pesan diasimilasi dalam bentuk kepercayaan/sikap sistem, bagaimana ekspektasi dibentuk dalam interaksi dengan orang lain dan apa yang terjadi ketika ekspektasi tak tercapai.
Dalam tradisi sosiopsikologis dapat dikelompokkan menjadi 3 cabang besar, yakni: perilaku, kognitif dan biologis. Dalam perspektif perilaku, teori-teori berkonsentrasi pada bagaimana manusia berperilaku dalam situasi-situasi komunikasi. Teori tersebut melihat hubungan antara perilaku komunikasi, apa yang Anda katakan dan lakukan, dalam kaitannya dengan beberapa variabel seperti sifat pribadi, perbedaan situasi dan pembelajaran. Sampai tahun 60-an, penekanan dalam psikologi adalah bagaimana kita mempelajari perilaku dengan menghubungkan antara stimulus dan respons. Ketika perilaku dihargai, perilaku itu akan terus diulang (pembelajaran). Sebaliknya, ketika respons diberi hukuman, perilaku tersebut akan berhenti (unlearned).
Pendekatan kedua, teori kognitif yang cukup banyak digandrungi saat ini. Berpusat pada bentuk pemikiran, cabang ini berkonsentrasi pada bagaimana individu memperoleh, menyimpan dan memproses informasi dalam cara yang mengarahkan output perilaku. Dengan kata lain, apa yang Anda lakukan dalam situasi komunikasi bergantung tidak hanya pada bentuk stimulus-respons, melainkan pada operasi mental yang digunakan untuk mengelola informasi. Sedangkan variasi umum ketiga adalah dari sudut pandang biologis. Karena kajian genetik diasumsikan menjadi semakin penting, para ahli psikologi dan ahli teori perilaku pun tertarik dalam efek-efek fungsi dan struktur otak, neurochemestry dan faktor genetik dalam menjelaskan perilaku manusia.
Tradisi sosiopsikologis dan sosiokultural berkenaan dengan individu dalam interaksinya dengan yang lain. Tradisi sosiopsikologis mengedepankan individu, sedangkan sosiokultural menekankan persamaan dalam interaksi sosial.
Kelima, Tradisi Sosiokultural
Pendekatan sosikultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara pemahaman kita terhadap makna, norma, peran dan peraturan yang dijalankan secara interaktif dalam komunikasi. Teori ini mengeksplorasi dunia interaksi yang dihuni manusia, menjelaskan bahwa realitas bukanlah seperangkat susunan di luar kita, tetapi dibentuk melalui proses interaksi dalam kelompok, komunitas dan budaya.
Gagasan utama dari tradisi sosikultural memfokuskan diri pada bentuk-bentuk interaksi antarmanusia daripada karakteristik individu atau model mental. Interaksi merupakan proses dan tempat makna, peran, peraturan serta nilai budaya yang dijalankan. Meskipun individu memproses informasi secara kognitif, tradisi ini kurang tertarik pada komunikasi pada komunikasi tingkat individu. Para peneliti sosiokultural cenderung menganut ide bahwa realitas itu dibentuk oleh bahasa, sehingga apapun yang ditemukan harus benar-benar dipengaruhi oleh bentuk-bentuk interaksi prosedur penelitian itu sendiri.
Dalam pendekatan sosiokultural, pengetahuan benar-benar dapat diinterpretasi dan dibentuk. Banyak teori sosiokultural juga memfokuskan pada bagaimana identitas-identitas dibangun melalui interaksi dalam kelompok sosial dan budaya. Identitas menjadi dorongan bagi setiap individu dalam peranan sosial, sebagai anggota komunitas, dan sebagai makhluk berbudaya. Budaya juga bagian penting atas apa yang dibuat dalam interaksi sosial.
Pada gilirannya, budaya membentuk konteks bagi tindakan dan interpretasi. Konteks, secara eksplisit diidentifikasikan dalam tradisi ini karena penting bagi bentuk-bentuk komunikasi dan makna yang ada. Karena pentingnya budaya dan konteks inilah, karya sosiokultural bersifat holistik, meskipun tidak selalu demikian. Para peneliti dalam tradisi ini dapat memfokuskan diri pada aspek kecil keseluruhan situasi dalam kajian tertentu, tapi mereka sangat menyadari pentingnya keseluruhan situasi atas apa yang terjadi pada interaksi dalam level mikro.
Tradisi sosiokultural memiliki sejumlah sudut pandang yang berpengaruh antara lain: paham interaksi simbolis (symbolic interactionism), konstruksionisme (constructionism), sosiolinguistik, filosofi bahasa, etnografi, dan etnometodologi. Paham interaksi simbolis berasal dari kajian sosiologi melalui penelitian Herbert Blumer dan George Herbert Mead yang menekankan pentingnya observasi partisipan dalam kajian komunikasi sebagai cara dalam mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial. Ide terpokok dari paham interaksi simbolik telah diadopsi dan dielaborasi oleh banyak pakar sosial serta sekarang dimasukkan dalam kajian kelompok, emosi, diri, politik dan struktur sosial.
Sedangkan dalam paham konstruktivisme sosial atau yang dikenal juga sebagai the social construction reality, di mana sudut pandang ini telah melakukan penyelidikan tentang bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi sosial. Identitas benda dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan untuk menangkap konsep kita dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum mereka. Karena itu, alam dinilai kurang penting dibandingkan bahasa yang digunakan untuk memberi nama, membahas dan mendekati dunia.
Dan paham ketiga yakni sosiolinguistik (kajian bahasa dan budaya), di mana hal terpokok dalam tradisi ini bahwa manusia menggunakan bahasa secara berbeda-beda dalam kelompok budaya dan kelompok sosial yang berbeda. Bukan hanya netral untuk menghubungkan manusia, bahasa juga masuk dalam bentuk yang menentukan jati diri seseorang sebagai makhluk sosial dan berbudaya. Ludwig Wittgenstein (filsuf Australia) mencetuskan pandangan ini, dan menyimpulkan bahwa makna bahasa bergantung pada penggunaan nyatanya.
Sudut pandang lain dalam pendekatan sosiokultural adalah etnografi (observasi tentang bagaimana kelompok sosial membangun makna melalui perilaku linguistik dan non linguistik). Etnografi melihat bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan dalam kelompok sosial tertentu, kata-kata yang digunakan, dan apa maknanya bagi mereka, sebagaimana makna-makna bagi keragaman perilaku, visual dan respons audio.
Dan terakhir, paham etnometodologi atau observasi yang cermat akan perilaku-perilaku kecil dalam situasi-situasi nyata. Etnometodologi dihubungkan dengan ahli sosisologi Harold Grafinkel, di mana pendekatan ini melihat bagaimana seseorang mengelola atau menghubungkan perilaku dalam interaksi sosial pada waktu tertentu.
Keenam, Tradisi Kritik
Tradisi kritik menyangkut bagaimana kekuatan dan tekanan serta keistimewaan sebagai hasil dari bentuk-bentuk komunikasi tertentu dalam masyarakat. Tradisi kkritik berlawanan dengan banyak asumsi dasar tradisi lainnya. Sebab sangat dipengaruhi oleh karya-karya di Eropa, feminisme Amerika dan kajian-kajian postmodernisme dan postkolonialisme.
Tradisi kritik memiliki 3 keunggulan atau keistimewaan pokok, yaitu:
Pertama, tradisi kritik mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur kekuatan dan keyakinan atau ideologi, yang mendominasi masyarakat dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur kekuatan tersebut. Pertanyaan seperti siapa yang boleh dan yang tidak boleh berbicara, apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan, siapa yang mengambil keuntungan dari sistem-sistem tertentu,menjadi hal biasa yang ditanyakan oleh para ahli teori kritik.
Kedua, para ahli teori kritik umumnya tertarik membuka kondisi-kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih berkecukupan. Memahami penindasan dalam menghapus ilusi-ilusi ideologi dan bertindak mengatasi kekuatan-kekuatan yang menindas.
Ketiga, teori kritik menciptakan kesadaran untuk menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan atau mencapai perubahan dalam kondisi-kondisi yang memengaruhi masyarakat. Wajarlah, teori kritik kerap kali menggabungkan diri dengan minat-minat dari kelompok yang terpinggirkan.
Adapun cabang dari tradisi kritik adalah marxisme, Frankfurt School of Critical Theeory, post modernisme, kajian budaya, post strukturalisme, post kolonialisme dan kajian feminisme.
Marxisme, tokohnya Marx mengajarkan bahwa cara-cara produksi dalam masyarakat menentukan sifat dari masyarakat, sehingga menyebabkan ekonomi menjadi dasar dari semua struktur sosial. Saat ini teori kritik ini dinamakan neo marxis atau marxis. Berbeda dengan teori materialis marxisme sederhana, kebanyakan teori-teori kritik kontemporer melihat proses-proses sosial sebagai overdetermined atau diakibatkan oleh sumber-sumber yang banyak. Mereka melihat struktur sosial sebagai sistem yang di dalamnya terdapat banyak faktor yang berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
Minat dalam bahasa menjadi penting bagi para ahli teori kritik. Dalam marxisme, praktik-praktik komunikasi dilihat sebagai hasil dari tekanan antara kreativitas individu dan desakan sosial pada kreativitas itu.
Frankfurt School, mengacu pada kelompok filsuf Jerman, sosilog dan ekonom Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Teori tersebut menyatakan, demi kebutuhan akan integrasi di antara kajian filosofi, ekonomi, sosiologi dan sejarah; untuk mempromosikan filosofi sosiologi yang luas atau teori kritik yang mampu menawarkan pengujian yang komprehensif akan kontradiksi dan interkoneksi dalam masyarakat. Seiring kemunculan Partai Sosialis Nasional (NAZI), di Jerman pada tahun 30-an, banyak akademisi Frankfurt berimigrasi ke Amerika dan membangun institusi penelitian sosial di Universitas Colombia. Sedangkan di Amerika, mereka sangat tertarik dengan komunikasi massa dan media sebagai struktur penekan dalam masyarakat kapitalis. Akademisi Frankfurt kontemporer yang paling terkenal adalah Jurgen Habermas, teorinya meneruskan penilaian terhadap alasan dan memintaa untuk mengembalikan ide-ide rasional dari periode pencerahan (modern).
Post modernisme, ditandai oleh perpecahan antara modernitas dan proyek pencerahan. Tahun 70-an, postmodernisme menolak elitisme, puritanisme dan sterilitas rasional karena pluralisme, relativitas, kebaruan (novelty), kompleksitas dan kontradiksi.
Kajian budaya (cultural studies), dihubungkan dengan ragam post modernisme dalam tradisi kritik. Para ahli kajian budaya, sama-sama membahas ideologi yang mendominasi sebuah budaya, tapi memfokuskan pada perubahan sosial dari hal yang menguntungkan dalam budaya itu sendiri, untuk mempermudah pergerakan budaya seperti yang telah diperlihatkan dalam kehidupan sosial, hubungan kelompok dan kelas, institusi dan politik, serta ide dan nilai. Nilai-nilai kajian budaya yang umum dan dipinggirkan menjadi pendorong utama di balik minat ilmiah yang berkelanjutan pada permasalahan tersebut.
Post strukturalisme, merupakan bagian dari proyek postmodern karena post strukturalisme mengolah usaha modern dalam menemukan kebenaran-kebenaran universal, naratif, metode dan makna yang digunakan untuk mengenal dunia. Jaques Derrida (1966) menuliskan, inti post strukturalisme adalah penolakan akan universalisasi makna yang ditentukan oleh desakan-desakan struktural, kondisi-kondisi dan simbol yang tetap. Malahan para ahli menghubungkan pendekatan historis dan sosial terhadap sifat dunia serta manusia yang masing-masing maknanya ditentukan dalam produksi dinamis dan mencair serta pengaruh spesifik dari simbol-simbol untuk momen sejarah.
Teori post kolonialisme, mengaju pada kajian semua kebudayaan dipengaruhi oleh proses kekaisaran dari era kolonialisme sampai hari ini. Inti teori ini adalah gagasan yang dikemukkan oleh Edward Said, bahwa proses penjajahan menciptakan “kebedaaan” yang bertanggung jawab bagi gambaran yang distereotipkan pada populasi bukan kulit putih. Teori Said merupakan proyek kritik dan post modern yang bukan hanya menggambarkan proses kolonialisasi dan keberadaannya untuk mengintervensi “emancipatory political stance”.
Post kolonial juga merupakan proyek post modern dalam mempertanyakan bahwa hubungan histori, nasional dan geografis serta penghapusan dibuat eksplisit dalam wacana. Lantas, pakar post kolonial mengkaji isu-isu yang sama sebagaimana yang dikaji oleh kajian budaya dan kritik: ras, kelas, gender, seksualitas, tapi semuanya disituasikan dalam susunan geopolitik dan hubungan negara-negara serta sejarah antarnegara mereka.
Kajian feminis, didefinisikan secara beragam mulai dari pergerakan untuk menyelamatkan hak-hak wanita sampai semua bentuk usaha penekanan. Para ahli feminisme memulainya dengan fokus pada gender dan mencari perbedaan antara seks, sebuah kategori biologis dan gender, sebuah konstruksi sosial. Feminis berusaha menawarkan teori-teori yang memusatkan pada pengalaman wanita dan untuk membicarakan hubungan antara kategori-kategori gender dan sosial lainnya, termasuk ras, etnik, kelas dan seksualitas.
Hal yang paling terkini, kajian tentang bagaimana praktik komunikasi berfungsi menyebarkan ideologi-ideologi gender yang dimediasi wacana menjadi mengemuka dan metrefleksikan variabilitas kajian budaya dalam ilmu komunikasi.
Ketujuh, Tradisi Retorika
Awalnya retorika berhubungan dengan persuasi, sehingga dimakanai sebagai seni penyusunan argumen dan pembuatan naskah pidato. Lantas berkembang meliputi proses “adjusting ideas to people and people to ideas” dalam segala jenis pesan. Fokus dari retorika telah diperluas bahkan lebih mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan di sekitarnya dan untuk membangun dunia tempat mereka tinggal.
Pusat dari tradisi retorika adalah 5 karya agung retorika yakni: penemuan, penyusunan, gaya, penyampaian dan daya ingat. Semuanya adalah elemen-elemen dalam mempersiapkan sebuah pidato, sedangkan pidato orang Yunani dan Roma kuno berhubungan dengan ide-ide penemuan, pengaturan ide, memilih bagaimana membingkai ide-ide tersebut dengan bahasa serta akhirnya penyampaian isu dan daya ingat. Penemuan, mengacu pada konseptualisasi yakni proses menentukan makna dari simbol melalui interpretasi, respons terhadap fakta yang tidak mudah ditemukan pada apa ayang telah ada, tetapi menciptakannya melalui penafsiran dari kategori-kategori yang digunakan.
Penyusunan, adalah pengaturan simbol-simbol, menyusun informasi dalam hubungannya di antara orang-orang, simbol-simbol dan konteks yang terkait. Gaya, berhubungan dengan semua anggapan yang terkait dalam penyajian dari semua simbol tersebut, mulai dari memilih sistem simbol sampai makna yang diberikan pada semua simbol tersebut, sebagaimana dengan semua sifat dari simbol, mulai dari kata-kata dan tindakan sampai pada busana dan perabotan. Penyampaian, menjadi peerwujudan dari simbol-simbol dalam bentuk fisik, mencakup pilihan nonverbal untuk berbicara, menulis dan memediasikan pesan. Dan daya ingat, tidak lagi mengacu pada penghafalan pidato, tetapi cakupan yang lebih besar dalam mengingat budaya sebagaimana dengan proses persepsi yang berpengaruh pada bagaimana kita menyimpan dan mengolah informasi.
Periodesasi pemaknaan retorika meliputi: tradisi retorika klasik, pertengahan, Renaissance, Pencerahan, Kontemporer dan Postmodern. Di zaman klasik (Abad V s/d Abad I SM), didominasi usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menyusun peraturan dari seni retorika. Para guru pengembara (sophist) mengajarkan seni berdebat di kedua sisi pada sebuah kasus, instruksi retorika paling awal di Yunani. Plato tidak sepakat terhadap pendekatan relativistik sophist terhadap pengetahuan yang menyakini adanya kebenaran absolut. Aristoteles, murid Plato mengambil pendekatan yang lebih pragmatis terhadap seni, sehingga kita mengenal Rhetorika.
Zaman Pertengahan (400-1400 M), memandang kajian retorika yang berfokus pada permasalahan penyusunan dan gaya. Retorika pada babak ini, tela merendahkan praktik dan seni pagan, serta berlawanan dengan Kristen yang memandang kebenaran sebagai keyakinan. Orientasi pragmatis terhadap retorika pertengahan juga bukti lain kegunaan dari retorika Zaman Pertengahan, untuk penulisan surat.
Renaissance (1300-1600 M), memandang sebuah kelahiran kembali dari retorika sebagai filosofi seni. Para penganut humanisme yang tertarik dan berhubungan dengan semua aspek dari manusia, biasa menemukan kembali teks retorika klasik dalam sebuah usaha untuk mengenal dunia manusia. Rasionalisme menjadi tren di era Reenaissance.
Fokus pada rasional selama Zaman Pencerahan berarti retorika dibatasi karena gayanya, memunculkan pergerakan belles lettres (surat-surat indah atau menarik). Belles lettres mengacu pada karya sastra dan semua karya seni murni: retorika, puisi, drama, musik dan bahkan berkebun, dan semuanya dapat diuji menurut kriteria estetika yang sama.
Zaman Pencerahan (1600-1800 M), para pemikir seperti Rene Decartes, mencoba untuk menentukan apa yang dapat diketahui secara absolut dan objektif oleh pikiran manusia. Idem juga, Francis Bacon, mencari persepsi petunjuk dengan penelitian empiris, berpendapat bahwa kewajiban retorika adalah untuk lebih baik mengaplikasikan alasan dengan imajinasi supaya sesuai dengan keinginan.
Retorika Kontemporer (Abad XX), menunjukkan sebuah kenaikan pertumbuhan dalam retorika ketika jumlah, jenis dan pengaruh simbol-simbol meningkat. Ketika sebuah abad dimulai dengan sebuah penekanan pada nilai berbicara di muka umum bagi masyarakat yang ideal, penemuan media massa menghadirkan fokus baru dalam visual dan verbal.
Retorika bergeser fokusnya dari pidato ke semua jenis penggunaan simbol. Hal paling penting, periode kontemporer telah kembali pada pemahaman mengenai retorika sebagai epistemika, sebagai sebuah cara untuk mengetahui dunia, bukan hanya sebuah cara untuk menyampaikan sesuatu tentang dunia. Mayoritas ahli teori retorika meyakini bahwa manusia menciptakan dunia-dunia mereka melalui simbol-simbol, bahwa dunia yang kita kenal merupakan salah satu yang ditawarkan kepada kita oleh bahasa kita.
Retorika Postmodernisme, akhir Abad XX dan awal Abad XXI menjadi jembatan antara retorika dengan postmodernisme, terutama pada apresiasi postmodern dan penilaian pendirian yang berbeda. Contoh: ahli-ahli teori retorika postmodern mengistimewakan pendirian akan ras, kelas, gender, dan seksualitas ketika mereka masuk dalam pengalaman kehidupan khusus seseorang daripada mencari teori-teori yang luas dan penjelasan-penjelasan mengenai retorika.
Penganut paham feminis dan praktik-praktik retorika gender acap kali masuk dalam bidang postmodern, sama seperti teori ganjil (queer), pada kondisi para akademisi retorika menguji fitur-fitur yang berbeda dari penyampaian keganjilan publik dan bentuk-bentuk retorika lain untuk memahami perbedaan-perbedaan yang ditawarkan oleh queer rethor. (*)