A. Pandangan Pokok Analisis Mikroekonomi dan Makroekonomi
1. Pandangan Pokok Analisis Mikroekonomi
Ilmu ekonomi mikro mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus.
Isu pokok yang dianalisis dalam teori mokroekonomi adalah: bagaimanakah caranya menggunakan faktor-faktor produksi yang tersedia secra efisien agar kemakmuran masyarakat dapat dimaksimumkan? Analisis seperti ini dibuat berdasarkan kapada pemikiran bahwa (i) kebutuhan dan keinginan manusia tidak terbatas, sedsngkan (ii) kemampuan faktor-faktor produksi menghasilakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat adalah terbatas. Berdasarkan kepada kedua pemikiran ini, teori mikroekonomi bertitik tolak kepada pemisalan bahwa faktor –faktor produksi yang tersedia sepenuhnya digunakan. Keadaan ini mendorong masyarakat untuk memikirkan cara yang paling efisien dalam menggunakan factor-faktor produksi yang tersedia.
Dalam teori mikroekonomi masalah di atas dibagi dan dibedakan menjadi tiga persoalan yang dinyatakan di bahwa ini:
1. Apakah jenis-jenis barang dan jasa yang perlu diproduksikan?
2. Bagimanakah barang dan jasa yang diperlukan masyarakat akan dihasilkan?
3. Untuk siapakah barang dan jasa perlu dihasilkan?
2. Pandangan Pokok Analisis Makroekonomi
Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat(keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain : pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran internasional.
Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut :
1. Sejauh mana berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja penuh.
2. Sejauh mana perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi.
3. Sejauh mana perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk.
Kelemahan-kelemahan analisis makroekonomi
Salah satu alasan lain yang menyebabkan analisis makroekonomi digunakan lebih berhati-hati di Negara berkembang adalah analisis lebih menekan kepada menelaah masalah-masalah ekonomi yang digunakan dalam jangka pendek.ini berbeda dengan corak analisis yang di gunakan di Negara berkembang.analisi yang di gunakan pada Negara berkembang lebih menekankan kepada analisis kepada masalah-masalah pembangunan.
1) Analisis merupakan analisis jangka pendek
Bahwa analisis makroekonomi pada dasarnya merupakan analisis jangka pendek,dapat di buktikan kepada pemisalan yang di buat dalam teori tersebut.dari sifat-sifat analisis dapat di simpulkan ;kapasitas alat-alat produksi tetap,jumlah tenaga kerja tidak berubah,dan tidak terdapat perbaikan dalam tingkat teknologi yang digunakan.
2) Tidak menganalisis factor non-ekonomi
Tidak terdapat analisis mengenai pengruh keadaan social, struktur social, suasana politik, nilai-nilai hidup,corak pandangan masyarakat dan corak kebudayaan masyarakat terhadap kegiatan masyarakat dan corak kebudayaan masyarakat terhadap kegiatan ekonomi meruapakan kelemahan lain dari makroekonomi.
3) Kurang memperhatikan sector luar negri
Dalam analisis makroekonomi penanaman modal oleh pengusaha di pandang sebagai sector penting menentukan tingkat kegiatan ekonomi. Sedangkan factor luar negri tidak memegang peranan sperti penanaman modal.
B. Proses Multiplier Di Negara Berkembang
Apabila sesuatu perekonomian menghadapi masalah pengangguran, maka haruslah dilakukan pertambahan dalam pengeluaran masyarakat. Besarnya pertambahan pengeluaran yang perlu dilakukan supaya tingkat kesempatan kerja penuh dapat dicapai tergantung kepada dua faktor: besarnya kecondongan konsumsi batas dan besarnya jurang di antara pendapatan nasional pada kesempatan kerja penuh dan pendapatan nasional yang sekarang tercapai.
Makin tinggi kecondongan konsumsi batas, makin besar multiplier yang akan diciptakan oleh sejumlah pertambahan dalam pengeluaran. Dengan demikian ini berarti pula bahwa makin tinggi kecondongan konsumsi batas, makin sedikit pula pertambahan pengeluaran yang diperlukan untuk menciptakan sejumlah pertambahan dalam pendapatan nasional dan untuk mencapai kesempatan kerja penuh.
Di negara-negara berkembang bahagian yang terbesar dari pendapatan masyarakat digunakan untuk konsumsi. Sebagai akibatnya kecondongan konsumsi batas di negara-negara tersebut adalah lebih tinggi daripada di negara-negara maju. Dengan demikian, berdasarkan kepada teori multiplier, di negara-negara berkembang meningkatkan pendapatan masyarakat merupakan masalah yang lebih mudah kalau dibandingkan dengan di negara-negara maju. Selanjutnya teori makroekonomi didasarkan kepada pandangan bahwa perubahan dalam tingkat pendapatan per kapita berhubungan rapat dengan perubahan dalam tingkat kesempatan kerja. Ini disebabkan karena dalam analisa makroekonomi dimisalkan bahwa tingkat teknologi, jumlah penduduk dan tenaga kerja, dan jumlah alat-alat produksi adalah tetap dan tidak dapat ditambah.
Maka apabila produksi nasional bertambah, bersamaan dengan keadaan tersebut berlaku pula pertambahan dalam kesempatan kerja, tingkat pengangguran berkurang, dan kapasitas alat-alat produksi yang digunakan juga akan bertambah tinggi. Karena pertambahan dalam pendapatan nasional selalu berarti pula pertambahan dalam penggunaan tenaga kerja dan alat-alat produksi, maka selanjutnya dapatlah disimpulkan bahwa, berdasarkan ramalan yang dibuat dalam teori multiplier, masalah pengangguran di negara-negara berkembang adalah lebih mudah diatasi daripada di negara-negara maju.
Tetapi pada kenyataannya keadaan yang berlaku di negara-negara berkembang yang ditimbulkan oleh adanya pertambahan dalam pengeluaran adalah jauh berbeda dengan keadaan yang diramalkan dalam teori multiplier. Di negaranegara berkembang pengeluaran yang berlebih-lebihan mungkin akan mengakibatkan inflasi walaupun dalam perekonomian tersebut masth terdapat banyak pengangguran. Ini disebabkan karena:
(i) kemampuan dari perekonomian tersebut untuk menambah produksi lebih terbatas kalau dibandingkan dengan kemam¬puan dari negara-negara maju;
(ii) corak kegiatan ekonorni di negara-negara berkembang sangat berbeda dengan di negara-negara maju, yaitu di negara-negara berkembang sektor tradisionil menguasai sebahagian besar kegiatan ekonomi.
Kedua-dua faktor ini rnerupakan penyebab terpenting yang mengakibatkan proses multiplier tidak dapat berjalan secara semestinya. Proses multiplier seperti yang digambarkan dalam analisa makroekonomi tidak dapat berlangsung seperti yang diharapkan karena di negara-negara berkembang sektor produksi mempunyai kemampuan yang lebih terbatas untuk menaikkan jumlah barang di pasar apabila permintaan berkembang dengan cepat. Seperti telah dijelaskan, menurut teori multiplier, pertambahan pengeluaran yang dilakukan masyarakat akan menambah pendapatan segolongan masyarakat lainnya. Golongan masyarakat yang belakangan ini akan menggunakan sebahagian besar dari pendapatan tersebut untuk konsumsi.
Dalam jangka pendek, sector produksi di Negara-negara berkembang tidak mempunyai kesanggupan yang demikian. Faktor-faktor ini menyebabkan sektor pertanian produktivitasnya sangat rendah dan kemarnpuannya untuk menambah produksi sangat terbatas. Keadaan di sektor industri tidak banyak berbeda dengan di sector pertanian. Bukan saja peranan sektor tersebut dalam perekonomian sangat kecil, tetapi juga pada umumnya industri yang ada merupakan industri rumahtangga atau industri yang bersifat labour intensive, tingkat produktivitasnya tidak begitu tinggi dan ketrampilan para pekerjanya masih lebih terbatas. Maka kemampuan untuk menambah produksi berbagai jenis barang masih belum mencapai tingkat yang dicapai oleh sektor industri di negara-negara maju.
Dalam analisa makroekonomi selanjutnya juga dianggap bahwa sector perusahaan bersifat responsif terhadap rangsangan-rangsangan yang terjadi di pasar. Apabila terdapat kemungkinan untuk memperoleh keuntungan yang cukup besar maka mereka akan berusaha memperolehnya dengan memperbesar jumlah penanaman modal. Sifat ini menambah kemampuan sektor produksi untuk memenuhi kenaikan permintaan yang terdapat di pasar dari masa ke masa. Reaksi seperti ini belum tentu terdapat di negara-negara berkembang karena adanya kekurangan-kekurangan dana modal, keahlian usahawan, tenaga kerja terdidik, dan tenaga kerja trampil. Di samping itu berbagai faktor sosial, ekonomi dan polifik adakalanya sangat menghambat terwujudnya responsif yang sama sifatnya dengan di negara-negara maju apabila terjadi pertambahan yang besar dalam permintaan. Keadaan ini jelas kelihatan di sektor pertanian.
Walaupun sejak lama negara-negara berkembang menghadapi masalah kekurangan bahan makanan, sektor ini masih belum dapat mengatasi masalah itu. Dalam teori memang terbuka kemungkinan yang luas sekali kepada para petani untuk menaikkan produksi pertanian, yaitu dengan mengubah cara-cara bercocok tanam yang dilakukan mereka sekarang ini, dengan cara-cara yang akan mempertinggikan tingkat produktivitas dari kegiatan tersebut. Tetapi sering sekali para petani tidak melakukan hal ini dan menaikkan produksi dengan cepat, walaupun dalam perekonomian tersebut terdapat kelebihan dalam permintaan dan usaha itu dapat menambah pendapatan mereka. Berarti para petani pada umumnya tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan yang terdapat di pasar.
Terbatasnya responsif para petani terhadap rangsangan-rangsangan yang terdapat di pasar disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang terpenting antara lain adalah, pertama, harga-harga hasil pertanian pada umumnya jauh lebih tidak stabil kalau dibandingkan dengan harga-harga barang industri. Ketidakstabilan ini menimbulkan keragu-raguan dan keengganan para petani untuk melakukan penanaman modal untuk memperbaiki cara-cara bercocok tanam mereka. Kedua, tenaga kerja di sektor pertanian mempunyai pengetahuan yang lebih terbatas kalau dibandingkan dengan pengusaha-pengusaha di sektor modern. Mereka misalnya tidak mengetahui tentang adanya cara bercocok tanam yang lebih baik, cara mempertinggi efisiensi penggunaan tanah dan cara untuk mempertinggi tingkat produktivitas.
Keadaan ini berbeda dengan keadaan dalam kegiatan ekonomi modern. Dari masa ke masa para pengusaha terus-menerus mengadakan perbaikan dalam berbagai aspek kegiatan mereka. Oleh karenanya kegiatan tersebut bertambah efisien, produktivitasnya terusmenerus mengalami perbaikan dan dapat selalu dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.
Di sektor industri, para pengusaha mempunyai reaksi yang lebih sensitif terhadap perubahan-perubahan di dalam pasar kalau dibandingkan dengan para produsen di sektor pertanian. Tetapi responsif mereka tingkatnya tidaklah seperti yang berlaku di negara-negara maju. Beberapa faktor dapat menim-bulkan keadaan demikian, seperti: kesukaran untuk memperoleh tenaga ahli yang dapat menjalankan alat-alat produksi modern dengan efisien; kesukaran untuk memperoleh tenaga pimpinan perusahaan yang, dapat memimpin perusahaan dengan rnenguntungkan; lebih terbatasnya kesanggupan untuk mengembangkan teknologi yang akan memperbaiki efisiensi dan mutu produksi: dan adakalanya juga terdapatnya kesukaran untuk memperoleh valuta asing yang diperlukan untuk mengimport bahan mentah dan barang-barang untuk mengembangkan industri.
C. Kebijakan Moneter Dan Fiskal Negara Berkembang
1. Kebijakan Moneter Dalam Negara Berkembang
Kebijakan Moneter bersandar pada hubungan antara tingkat bunga dalam perekonomian, itu adalah harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan total pasokan uang. Kebijakan moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi , inflasi , nilai tukar dengan mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah di bawah monopoli penerbitan, atau di mana ada sistem diatur menerbitkan mata uang melalui bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter memiliki kemampuan untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi tingkat suku bunga (untuk mencapai kebijakan tujuan).
Awal dari kebijakan moneter seperti itu berasal dari akhir abad 19, di mana ia digunakan untuk mempertahankan standar emas .Suatu kebijakan disebut sebagai kontraktif jika mengurangi ukuran jumlah uang beredar atau menaikkan tingkat bunga. Sebuah ekspansif meningkatkan kebijakan ukuran jumlah uang beredar, atau menurunkan tingkat suku bunga. Selain itu, kebijakan moneter adalah sebagai berikut: akomodatif, jika tingkat bunga yang ditetapkan oleh otoritas moneter pusat ini dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi; netral, jika tidak dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan atau memerangi inflasi, atau ketat jika dimaksudkan untuk mengurangi inflasi.
Dalam hampir semua negara modern, khusus lembaga (seperti Bank of England , dengan European Central Bank , Reserve Bank of India , dengan Federal Reserve System di Amerika Serikat, Bank of Japan , dari Bank of Canada atau Reserve Bank of Australia ) ada yang memiliki tugas melaksanakan kebijakan moneter dan sering independen dari eksekutif . Secara umum, lembaga-lembaga ini disebut bank sentral dan sering memiliki tanggung jawab lainnya seperti mengawasi kelancaran sistem keuangan.
Hal ini mencakup mengelola jumlah uang beredar melalui pembelian dan penjualan berbagai instrumen keuangan, seperti tagihan treasury, obligasi perusahaan, atau mata uang asing. Semua hasil pembelian atau penjualan dalam mata uang dasar kurang lebih memasuki atau meninggalkan sirkulasi pasar.
Biasanya, tujuan jangka pendek operasi pasar terbuka adalah untuk mencapai target suku bunga jangka pendek tertentu. Dalam kasus lainnya, kebijakan moneter bukan sasaran mungkin memerlukan suatu nilai tukar tertentu relatif terhadap beberapa mata uang asing atau yang lain relatif terhadap emas. Misalnya, dalam kasus Amerika Serikat Federal Reserve menargetkan tingkat dana federal , tingkat di mana bank meminjamkan kepada anggota satu sama lain dalam semalam, namun dengan kebijakan moneter Cina adalah target nilai tukar antara Cina renminbi dan keranjang mata uang asing.
Cara utama lainnya melakukan kebijakan moneter mencakup:
– Diskon jendela pinjaman ( lender of last resort );
– pinjaman pecahan deposit (perubahan dalam persyaratan cadangan);
– Moral bujukan (membujuk pelaku pasar tertentu untuk mencapai tertentu hasil)
– Teori Kebijakan moneter adalah proses dimana pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter dari kontrol negara terhadap jumlah uang beredar, ketersediaan uang, dan biaya uang atau suku bunga untuk mencapai menetapkan tujuan berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Kebijakan Moneter bersandar pada hubungan antara tingkat bunga dalam perekonomian, itu adalah harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan total pasokan uang. Kebijakan moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dengan mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah di bawah monopoli penerbitan, atau di mana ada sistem diatur menerbitkan mata uang melalui bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter memiliki kemampuan untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi tingkat suku bunga (untuk mencapai kebijakan tujuan). Awal dari kebijakan moneter seperti itu berasal dari akhir abad 19, di mana ia digunakan untuk menjaga standar emas. Suatu kebijakan disebut sebagai kontraktif jika mengurangi ukuran jumlah uang beredar atau menaikkan tingkat bunga. Sebuah kebijakan ekspansif meningkatkan ukuran jumlah uang beredar, atau menurunkan tingkat suku bunga. Selain itu, kebijakan moneter adalah sebagai berikut: akomodatif, jika tingkat bunga yang ditetapkan oleh otoritas moneter pusat ini dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi; netral, jika tidak dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan atau memerangi inflasi, atau ketat jika dimaksudkan untuk mengurangi inflasi.
2. Kebijakan Fiskal di Negara Berkembang
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Pada sektor rumah tangga(RTK), dimana rumah tangga melakukan pembelian barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan untuk konsumsi daan mendapatkan pendapatan berupa gaji, upah, sewa, dividen, bunga, dll dari perusahaan. kegiatan ekonomi dengan Pemerintah adalah rumah tangga menyetorkan sejumah uang sebagai pajak dan menerima penerimaan berupa gaji, bunga, penghasilan non balas jasa, dll. Sedangkan dengan Dunia Internasional adalah rumah tangga mengimpor barang dan jasa dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada sektor perusahaan, kegiatan ekonomi memiliki hubungan dengan rumah tangga yaitu perusahaan menghasilkan produk-produk barupa barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dan memberikan penghasilah dan keuntungan kepada rumah tangga barupa gaji, deviden, sewa, upah, bunga. Sedangkan hubungan dengan Pemerintah, perusahaan akan membayar pajak kepada pemerintah dan menjual produk dan jasa kepada pemerintah. Sedangkan hubungan dengan Dunia Internasional, perusahaan melakukan impor atas produk barang maupun jasa dari luar negri.
Pada sektor pemerintah, kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan RumahTangga dimana pemerintah menerima setoran pajak rumah tangga untuk kebutuhan operasional, pembangunan. Dan untuk hubungan dengan Perusahaan, pemerintah mendapatkan penerimaan pajak dari pengusaha
Pemerintah membeli produk dari perusahaan berdasarkan dana anggaran belanja yang ada. Pada sektor Dunia Internasional / Luar Negeri, dimana Hubungan dengan RumahTangga adalah dunia internasional menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan rumah tangga. dan untuk Hubungan dengan Perusahaan, dunia internasional mengekspor produknya kepada bisnis-bisnis perusahaan.
Negara Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Dimana Tingginya tingkat krisis yang dialami negeri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya. Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah.
Pengaruh krisis ekonomi pada kebijakan fiskal, dimana Berdasarkan AD/ART pemerintah negara Indonesia, sebagaimana yang dipublikasikan oleh BI, untuk semester pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga hutang. Meski sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya peningkatan penerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan pengeluaran. Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan deregulasi sektor riil menyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
D. Mekanisme Pasar di Negara Berkembang
Penerapan prinsip mekanisme pasar secara global memunculkan dampak ketimpangan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan negara berkembang lainya. Kondisi ini diperparah oleh jargon-jargon paham liberal yang terorganisasi yang diusung International Monitary Fund (IMF) dan World Bank. Jargon tersebut jelas sangat memotivasi terjadinya ketimpangan sosial.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) Erman Suparno mengungkapkan, ketimpangan sosial tersebut bukan hanya terjadi di suatu bangsa yang berkedaulatan dalam bingkai negara. Tetapi ketimpangan di bidang sosial, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya terjadi antar-bangsa dan antar-negara. “Ketimpangan sosial akibat penerapan mekanisme pasar global tersebut memunculkan pula ketimpangan politik umat manusia. Khususnya antara negara maju dan berkembang atau yang sedang berkembang,” ujar Erman di Bandung, kemarin, usai menghadiri wisuda di Lembaga Pendidikan dan Ketrampilan Ariyanti.
Di Eropa Barat, Amerika Utara Asia Timur, Australia, dan Selandia Baru yang dikenal sebagai negara maju, masyarakatnya lebih siap untuk menghadapi penerapan mekanisme pasar global tersebut. Bahkan masyarakat di negara-negara tersebut dapat menikmati manfaat dari proses globalisasi itu. Sebaliknya, masyarakat di belahan Eropa Timur, Asia Selatan, dan sebagian Asia Tenggara serta Afrika yang dikenal sebagai negara berkembang menanggung derita akibat dari proses globalisasi itu.
Negara-negara maju berhasil membangun kualitas sumber daya manusia (SDM), karena dikategorikan sebagai investasi SDM (human capital investment). Jelas ini pun sekaligus mencerminkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk bisa mengelola sumber daya alam (SDA), sehingga bisa memberikan kemakmuran terhadap masyarakat secara merata. Sebaliknya negara-negara berkembang umumnya belum bisa meningkatkan kualitas SDM untuk mengelola SDA. Ini berakibat pada kemakmuran masyarakat yang tidak merata. Indonesia termasuk salah satunya. Maka dari itu, dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus mampu mengejar ketertinggalan dalam membangun SDM, sehingga mampu mengelola SDA secara maksimal.